08 Desember 2009

Menata Ulang Sistem Jaminan Sosial Nasional


Oleh : Rachmad Yuliadi Nasir

 | 08-Des-2009,

KabarIndonesia - Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem ini diharapkan dapat mengatasi masalah mendasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, kecelakaan, pensiun, hari tua, dan santunan kematian.

Di akhir pemerintahannya, Presiden Megawati Soekarnoputri telah menandatangani UU 40/2004 tentang SJSN tetapi sampai sekarang nasib UU ini tidak jelas. Hal itu karena peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut tentang program idealis tersebut tidak kunjung diterbitkan. Walaupun periode kedua Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dijalankan. Apa masalah mendasarnya?

Program ini terlalu ambisius, tidak melihat realitas di lapangan. Bahkan pada awalnya pernah diusulkan pengangguran mendapatkan jaminan. Memang program yang bagus tetapi tidak operasional. Dari mana dana untuk menjamin pengangguran mutlak dan terselubung yang sangat banyak di negeri ini? Untung waktu itu jaminan pengangguran tidak jadi dimasukkan dalam program SJSN. Kalau dimasukkan, tentu UU akan tetap menjadi UU tetapi tidak operasional di lapangan.
Bagaimana setelah program jaminan pengangguran tidak masuk dalam UU SJSN? Apakah program jaminan yang ada bisa operasional? Seharusnya bisa dan kita lihat ada program Askeskin yang sekarang menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sudah mencakup jaminan bagi 76,4 juta orang miskin dan hampir miskin di Indonesia. Suatu terobosan yang banyak negara berkembang kesulitan memenuhinya.

Di banyak negara, program jaminan sosial dimulai dan dapat terselenggara dengan pendapatan per kapita lebih dari US $ 2.000. Jerman memulai program asuransi kesehatan sosial saat pendapatan per kapita US$ 2.237, Austria US$ 2.420, dan Jepang US$ 2.140. Pendapatan per kapita saat ini mulai menginjak US$ 2.000. Meski demikian, struktur ekonomi terutama sektor formal, harus diperkuat.

Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah menjadi komitmen nasional. Empat BUMN, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri, sudah menunjukkan komitmennya menerapkan SJSN. Untuk itu, agar program SJSN menjangkau seluruh rakyat, perlu UU yang mendorong lahirnya lebih dari satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pertahankan empat BUMN (Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri) itu sebagai BPJS. Sedangkan untuk menjangkau lebih banyak orang, peluang untuk mendirikan BPJS baru, baik di pusat maupun daerah harus dibuka. Empat BUMN penyelenggara asuransi sosial itu kini mengelola dana besar.

Jika diakumulasi, total dana kelolaan keempat BUMN di atas Rp 120 triliun. Ini bukan angka kecil untuk digabungkan ke badan baru yang belum jelas manajemennya. Berbeda dengan empat BUMN penyelenggara asuransi sosial, hingga saat ini, BPJS yang menjadi amanat UU 40/2004 tentang SJSN, belum memiliki badan hukum. Perusahaan yang sudah punya badan hukum jelas harus mengalah untuk dileburkan ke sebuah badan baru yang belum memiliki badan hukum.

Setelah ada uji materi dari Mahkamah Konstitusi, empat BUMN yaitu PT Askes, PT Asabri, PT Taspen, dan PT Jamsostek tidak bisa bertindak sebagai BPJS karena tidak dibentuk dengan UU. Meski demikian, keempat BUMN tersebut diberi kesempatan sebagai badan penyelenggara dengan masa transisi untuk menyesuaikan diri sampai 19 Oktober 2009. Setelah uji materi pun, pemda dapat mendirikan badan penyelenggara. Hal ini tidak menjadi masalah, sepanjang ada sistem yang sama dan koordinasi, serta sinkronisasi.

Sistem jaminan sosial bukan pemaksaan atau sistem yang membebani keuangan negara. Ada orang yang tidak suka UU SJSN dan menakut-nakuti bahwa kalau diterapkan, pemerintah harus sediakan dana Rp 300-Rp 1.000 triliun, padahal itu tidak benar sama sekali. Kalau ada yang mengatakan, negara belum sanggup, orang itu pasti belum baca UU SJSN, sebab jaminan sosial (social security) di negara lain seperti Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Korea, Malaysia dan lain-lain mengembangkan SJSN ketika ekonomi mereka, lebih buruk dari ekonomi Indonesia sekarang.

Ditegaskan, SJSN tidak dirancang didanai dari APBN, kecuali untuk jaminan kesehatan rakyat miskin yang besarnya tidak lebih dari Rp 15 triliun. Sekarang ada lebih dari 50 persen rakyat Indonesia yang memerlukan perawatan jatuh miskin jika sakit.  Ini terjadi akibat karena biaya perawatan di RS publik (pemerintah) mahal. Ini karena sistem kesehatan yang lebih liberal dari sistem kesehatan di AS.

Begitu juga dengan orang yang kehilangan pekerjaan, karena PHK atau memasuki usia pensiun akan jatuh miskin karena tidak memiliki gaji. Seperti diketahui SJSN mencakup jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian. Hampir seluruh negara di dunia memiliki sistem jaminan sosial berdasarkan iuran wajib. Bahkan, negara kapitalis seperti Amerika, Jepang, Jerman, Inggris memiliki sistem jaminan sosial. Amerika kini membahas "Health Care Reform Obama" yang juga bertujuan untuk cakupan semesta, asuransi kesehatan untuk semua penduduk.Kementerian Negara BUMN mendukung RUU BPJS.

UU tersebut akan mengubah bentuk badan hukum empat BUMN yang akan menjadi anggota BPJS, yaitu PT Asabri, PT Jamsostek, PT Askes, dan PT Taspen. Dalam RUU tersebut, tidak diatur bentuk badan hukum. Jika badan hukum keempat BUMN diubah menjadi wali amanat maka akan terjadi masalah hukum. Karena perubahan badan hukum harus disesuaikan dengan UU Perseroan Terbatas dan UU Tenaga Kerja. (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar