08 Februari 2009

Tanjungpinang, Kota Terburuk di Indonesia


Kamis, 5 Pebruari 2009 | 15:07:08
Survey Integritas Sektor Publik oleh KPK
Tanjungpinang (BCZ)  Dari hasil survey Integritas Sektor Publik di Indonesia Tahun 2008 yang dilakukan KPK, Tanjungpinang dinyatakan sebagai kota dengan predikat terburuk. Dalam survey KPK, empat jenis pelayanan menjadi penilaian yakni pengurusan KTP, SIUP, PDAM dan IMB.

"Kota Tanjungpinang adalah satu-satunya kota yang baik total maupun keempat unit layanannya berada dalam  peringkat 5 terendah," ujar Wakil Ketua KPK M Jasin.

Dalam survey KPK itu, Tanjungpinang hanya meraih skor 4,51. di peringkat bawah kabupaten/kota di peringkat terendah, di atas Tanjungpinang adalah Kota Bandung (5,07), Kabupaten Sumenep (5,25), Kabupaten Bandung (5,39) dan Kota Pontianak (5,52). 

Dari survey KPK itu juga terungkap, daerah dengan skor tertinggi adalah Kota Gorontalo dengan skor 8,52. Sedangkan Kabupaten/Kota yang masuk lima besar tertinggi setelah Gorontalo antara lain Kabupaten magelang (8,30), Kota Balikpapan (7,90), Kabupaten Jembrana (7,84) dan Kota Yogyakarta (7,72).

Jumlah keseluruhan responden adalah 11.268 orang yang terdiri dari 4.800 responden  di tingkat pusat dan 6.468 responden di tingkat daerah.

"Kriteria respondennya yaitu pengguna ataupun pengurus layanan langsung dalam dua tahun terakhir," ujarnya.

Sementara metode penilaiannya menggunakan pembobotan indikator oleh ahli, pengisian  kuesioner oleh responden, serta pemeringkatan/ranking berdasarkan nilai indeks 0-10. Semakin besar nilai, semakin baik integritasnya.

"Survei dilakukan pada rentang waktu Juni-September 2008," tutur Jasin.

Lebih lanjut Jasin menjelaskan, dari hasil survey itu terungkap bahwa petugas pelayanan publik masih berperilaku koruptif. Hal ini dapat dilihat dari 36% responden yang merasa terjadinya perbedaan perlakuan petugas dalam memberi layanan. Bahkan 31% responden  menyatakan bahwa pengguna layanan akan dipersulit apabila tidak memberikan imbalan atau biaya tambahan kepada petugas.

Selain itu, masyarakat pengguna layanan publik di daerah masih bersikap toleran terhadap perilaku koruptif. 45% responden di daerah menyatakan bahwa pemberian gratifikasi (imbalan) merupakan hal yang wajar dalam rangka mendapatkan pelayanan.

"54 persen, mereka menganggapnya sebagai bentuk ucapan terima kasih dan 22 persen menganggap sebagai pelican proses pelayanan," sebut Jasin.
Menurutnya, praktik suap dianggap umum terjadi oleh pengguna layanan di daerah (43,2%). Dari yang menganggap umum terjadi, 47% responden mengakui memberikan imbalan pada saat awal.

"Umumnya praktik suap terjadi karena inisiatif dari kedua pihak," tandasnya.

Parahnya, kata Jasin, upaya pencegahan korupsi belum banyak dilakukan oleh lembaga pelayanan publik di daerah.

"Sebanyak 60 persen responden menyatakan mereka tidak melihat adanya kampanye antikorupsi di unit layanan yang mereka datangi," pungkasnya. (ara/jpnn)

Link: http://kepritoday.com/content/view/17591/28/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar