24 Februari 2009

“Mesin Uang” Itu Bernama PKL

"Mesin Uang" Itu Bernama PKL 



JAKARTA-"Sudah diberi uang tetap saja digusur," begitulah keluhan Jamal (bukan nama sebenarnya-red), pedagang buah jeruk di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, ketika disapa SH, Sabtu (21/2) siang.
Pria asli Malang, Jawa Timur, ini mengaku bahwa dirinya bisa leluasa berdagang di dekat Stasiun Kereta Api (SKA) Jatinegara karena telah membayar sejumlah uang, baik kepada petugas ketertiban kecamatan, preman di kawasan tersebut, maupun pihak kepolisian.
"Dalam sehari, bisa hingga tujuh kali pungutan yang ditarik. Katanya sih untuk biaya kebersihan, lalu datang yang lain dan mengatakan katanya untuk uang keamanan. Tiap hari orang yang menagih berganti-ganti," ungkapnya.
Jamal mengaku, besarnya pungutan bervariasi antara Rp 5.000-10.000 per hari. Pungutan itu belum termasuk uang bulanan yang harus disetor kepada sejumlah petugas ketertiban. "Penagih biasanya datang setiap akhir bulan. Ya, bisa antara Rp 100.000-150.000. Saya beri aja agar aman berdagang di sini," tuturnya.
Tetapi, tambahnya, jika ada penertiban dadakan, misalnya saja kunjungan pejabat atau orang dari DKI (Balai Kota Jakarta-red), Jamal serta sejumlah pedagang buah lainnya tetap terkena penertiban. "Mungkin orang yang menertiban itu bukan dari petugas ketertiban kecamatan yang biasa mengutip uang dari kami pedagang buah di sini," tambahnya.
Cerita senada juga dilontarkan Deden (juga bukan nama sebenarnya-red), pedagang buah di sekitar Terminal Bus Senen, Jakarta Pusat. Menurutnya, pungutan itu tidak hanya ditarik oleh petugas ketertiban, tetapi juga oleh petugas keamanan di sekitar terminal bus. Tidak jarang preman Senen juga meminta uang agar aman berdagang di sekitar Terminal Bus Senen."Saya beri aja ketimbang tidak bisa berdagang," tuturnya.
Ketika ditanya besarnya pungutan yang ditarik itu, pria asal Indramayu, Jawa Barat, itu enggan menyebutnya. Yang pasti, katanya, setiap hari dirinya bisa ditarik kutipan hingga tujuh kali. "Itu belum termasuk preman dan petugas terminal yang seenaknya saja mengambil jeruk yang saya jual. Kalau begitu terus mah kapan untungnya," keluhnya.
Bagaimana kalau tidak membayar kutipan? Deden secara blak-blakan mengatakan, gerobak buahnya bisa dibalik, terutama oleh preman sekitar Terminal Bus Senen, Jakarta Pusat.
Susanti (bukan nama sebenarnya-red), pedagang minuman, mengamini pengakuan Jamal dan Deden. Di sekitar Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, ia mengaku sudah membayar sejumlah uang, tetapi tetap saja diburu petugas Tramtib. Biasanya yang menertiban itu adalah petugas lain yang tidak pernah mengutip. Dia cepat-cepat mengamankan dagangan jika ada penertiban. Susanti biasanya dibantu petugas busway dan teman-teman sopir untuk mengamankan dagangannya ke dalam mikrolet. Dia mulai berdagang sejak pagi hari. Setiap harinya, Susanti meraup untung Rp 30.000 dari rokok dan minuman yang dijualnya di sekitar terminal.
Kondisi serupa terlihat di perempatan Jalan Bulungan dan Mahakam. Keberadaannya telah dikenal banyak orang dengan sebutan "gultik" dari singkatan gule tikungan. Letaknya strategis karena bisa dipandang dari empat penjuru sehingga mudah menemukannya, yaitu tepat di belakang Blok M Plaza.
Didiek, sebut saja begitu, adalah salah satu pedagang dari 10 pedagang gultik di tempat itu. Omzetnya satu kali sif Rp 300.000 untuk setengah panci kuah gule. Bila habis, omzetnya mencapai Rp 500.000 per 12 jam. Namun, tambahnya, dirinya juga wajib membayar retribusi kepada petugas Satpol PP Rp 200.000 per bulan. "Ya, harus bayar kalau dagang di sini," tuturnya.

PKL Binaan
Kepala Bagian Perpasaran dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Biro Perekonomian Jakarta Subaning Rustriantono dalam sebuah kesempatan mengatakan, pihaknya hanya mengawasi pembinaan, penataan, dan pelatihan terhadap PKL binaan karena ternyata ada PKL liar, yakni PKL yang bukan binaan Pemda Jakarta.
Dia menyatakan, tidak semua PKL diawasi, ditata, serta dibina. Mereka yang dibina awalnya merupakan pedagang yang berjualan di luar yang kemudian dimasukkan dalam lokasi tertentu lalu dibina. Hingga kini, terdapat 20 lokasi binaan dengan 3.408 pedagang dan 5.469 tempat usaha.
Selain itu, terdapat PKL binaan yang bersifat sementara. Mereka menempati lokasi-lokasi yang dikenal dengan JP, JU, JS, JB, dan JT. Jumlahnya sekitar 13.358 pedagang dengan 13.729 tempat usaha di 266 lokasi di lima wilayah Jakarta. Terdapat juga lokasi terkendali yang juga digunakan PKL. Jumlahnya sekitar 4.517 pedagang dengan 4.517 tempat usaha di 70 lokasi. Lokasi terkendali ini ditentukan wali kota setempat, tetapi dikelola masyarakat, seperti pasar kaget atau pasar senggol.
Di luar PKL binaan, pedagang kaki lima sementara dan lokasi pedagang kaki lima terkendali adalah liar. "Pemda tidak berurusan dengan mereka dan jumlahnya sangat banyak sekitar 65.400 berdasarkan data BPS 2005. Jumlah ini tentu terus bertambah dari tahun ke tahun," katanya.
Dia menambahkan, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pun tidak mungkin menampung semua pedagang yang jumlahnya puluhan ribu. Oleh karena itu, upaya pemda bekerja sama dengan swasta agar bisa menampung di sekitar usahanya. Misalnya, di ITC Mangga Dua disediakan lokasi bagi PKL.(norman meoko)


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/23/jab05.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar