26 Februari 2009

Pedagang Pun Minta Perlindungan KPK Oleh Jonder Sihotang BEKASI - Nasib pedagang di negeri ini masih tetap diwarnai aksi teror para pemilik modal. Setidaknya itulah yang kini dialami sekitar 320 pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi. Demi kepentingan penguasa dan pengusaha, pedagang di sana digempur teror. “Kami tidak ingin menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa dan pengusaha. Jangan sampai terjadi tragedi Pasar Pondok Gede jilid dua. Kami tidak mau jadi korban. Jangan jadikan pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi ini sengsara hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Hentikan intimidasi yang terus meneror pedagang sejak April 2008 ketika kami diminta tanda tangan di atas meterai tanpa melalui proses musyawarah.” Demikian ungkapan hati sekitar 320 pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi dalam suratnya terkait rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi yang akan merenovasi pasar tradisional yang berlokasi di Jalan Juanda Kota Bekasi itu. Surat pengaduan ratusan pedagang tadi ditujukan kepada Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad. Mereka kecewa dan memprotes kebijakan pemkot setempat yang sangat merugikan para pedagang kecil. Tidak tanggung-tanggung, surat pengaduan tersebut ditembuskan ke Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Surat pengaduan yang juga ditembuskan kepada Ketua DPRD Kota Bekasi itu ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Umum Perwakilan Rukun Warga Pasar Pusat Pertokoan Bekasi, Ny Hj Yarnis dan Erwin Sinarta. Terkait protes dan rasa kecewa, ratusan pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi, Senin (23/2) siang, menggelar aksi unjuk rasa di dalam pasar. Aksi itu, menurut H Wardi, juru bicara pedagang, sebagai tanda protes mereka atas kebijakan Pemkot Bekasi yang merugikan pedagang. “Bukan kami tidak setuju dilakukan renovasi Pasar Pusat Pertokoan Bekasi ini kendati masih ada masa hak guna pakai (HGP) hingga 2015. Tetapi, yang kami sesalkan dan protes, pedagang sama sekali tidak dilibatkan dalam musyawarah untuk menentukan harga kios, termasuk pembagian lokasi. Tiba-tiba, lewat SK Wali Kota Bekasi, harga kios sudah dipatok mulai harga Rp 20-35 juta per meter,” ungkapnya. Hal itu, katanya, sama sekali tidak adil. Penentuan harga kios per meter hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha dengan mengorbankan pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di pasar ini. “Kami ini jangan dijadikan sebagai korban seperti yang dialami ribuan pedagang di Pasar Pondok Gede,” ungkap H Wardi yang diaminkan pedagang lainnya. Janji Wakil Wali Kota Para pedagang ini juga mengakui, awal Januari 2009 lalu, pihaknya sempat mendatangi Kantor Pemkot Bekasi dan bertemu Wakil Wali Kota Rahmat Effendi. Setelah pedagang mengadukan keluhan, Rahmat Effendi menjanjikan akan mengundang pedagang untuk membahas masalah ini. Ternyata, hingga saat ini, sudah dua bulan, sama sekali tidak ada undangan dari Rahmat yang saat ini berjanji akan mengundang para pedagang. “Inilah yang menambah rasa kecewa kami sebagai pedagang, selain sikap pemerintah yang sama sekali tidak melibatkan pedagang dalam menentukan harga. Kalau ada pejabat yang mengaku sudah ada musyawarah soal harga dengan pedagang, itu bohong. Yang ada hanya sosialisasi yang tiba-tiba sudah ada penetapan harga dan bukan musyawarah, “ tegas Wardi. Terkait rencana renovasi Pasar Pusat Pertokoan Bekasi itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkot Bekasi Supriyanto kepada SH mengakui, pemerintah daerah sebagai pemilik pasar akan melakukan renovasi dengan pihak ketiga dari PT Aneka Sumber Daya Energi dalam bentuk kerja sama investasi. Soal tuntutan pedagang yang tidak diajak musyawarah dalam penetapan harga, dia mengaku kurang tahu. “Silakan tanya kepada Dinas Perekonomian yang membidangi pasar,” katanya. Yang membuat miris, mereka diintimidasi melalui surat dari Kepala Unit Pasar tersebut yang berisi agar semua pedagang selambatnya, tanggal 9 Januari 2009 lalu, mendaftarkan diri dan membayar uang booking Rp 2 juta. Jika tidak mendaftar dan membayar uang booking, dianggap mengundurkan diri dan semua haknya hilang. “Ini yang membuat kami miris dan ketakutan,” kata pedagang itu. Ya, nasib wong cilik di negeri ini memang tidak pernah mulus! n

Pedagang Pun Minta Perlindungan KPK

Oleh
Jonder Sihotang

BEKASI - Nasib pedagang di negeri ini masih tetap diwarnai aksi teror para pemilik modal. Setidaknya itulah yang kini dialami sekitar 320 pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi. Demi kepentingan penguasa dan pengusaha, pedagang di sana digempur teror.

"Kami tidak ingin menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa dan pengusaha. Jangan sampai terjadi tragedi Pasar Pondok Gede jilid dua. Kami tidak mau jadi korban. Jangan jadikan pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi ini sengsara hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Hentikan intimidasi yang terus meneror pedagang sejak April 2008 ketika kami diminta tanda tangan di atas meterai tanpa melalui proses musyawarah."
Demikian ungkapan hati sekitar 320 pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi dalam suratnya terkait rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi yang akan merenovasi pasar tradisional yang berlokasi di Jalan Juanda Kota Bekasi itu.
Surat pengaduan ratusan pedagang tadi ditujukan kepada Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad. Mereka kecewa dan memprotes kebijakan pemkot setempat yang sangat merugikan para pedagang kecil.
Tidak tanggung-tanggung, surat pengaduan tersebut ditembuskan ke Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Surat pengaduan yang juga ditembuskan kepada Ketua DPRD Kota Bekasi itu ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Umum Perwakilan Rukun Warga Pasar Pusat Pertokoan Bekasi, Ny Hj Yarnis dan Erwin Sinarta.
Terkait protes dan rasa kecewa, ratusan pedagang Pasar Pusat Pertokoan Bekasi, Senin (23/2) siang, menggelar aksi unjuk rasa di dalam pasar. Aksi itu, menurut H Wardi, juru bicara pedagang, sebagai tanda protes mereka atas kebijakan Pemkot Bekasi yang merugikan pedagang.
"Bukan kami tidak setuju dilakukan renovasi Pasar Pusat Pertokoan Bekasi ini kendati masih ada masa hak guna pakai (HGP) hingga 2015. Tetapi, yang kami sesalkan dan protes, pedagang sama sekali tidak dilibatkan dalam musyawarah untuk menentukan harga kios, termasuk pembagian lokasi. Tiba-tiba, lewat SK Wali Kota Bekasi, harga kios sudah dipatok mulai harga Rp 20-35 juta per meter," ungkapnya.
Hal itu, katanya, sama sekali tidak adil. Penentuan harga kios per meter hanya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha dengan mengorbankan pedagang yang sudah puluhan tahun berdagang di pasar ini. "Kami ini jangan dijadikan sebagai korban seperti yang dialami ribuan pedagang di Pasar Pondok Gede," ungkap H Wardi yang diaminkan pedagang lainnya.

Janji Wakil Wali Kota
Para pedagang ini juga mengakui, awal Januari 2009 lalu, pihaknya sempat mendatangi Kantor Pemkot Bekasi dan bertemu Wakil Wali Kota Rahmat Effendi. Setelah pedagang mengadukan keluhan, Rahmat Effendi menjanjikan akan mengundang pedagang untuk membahas masalah ini. Ternyata, hingga saat ini, sudah dua bulan, sama sekali tidak ada undangan dari Rahmat yang saat ini berjanji akan mengundang para pedagang.
"Inilah yang menambah rasa kecewa kami sebagai pedagang, selain sikap pemerintah yang sama sekali tidak melibatkan pedagang dalam menentukan harga. Kalau ada pejabat yang mengaku sudah ada musyawarah soal harga dengan pedagang, itu bohong. Yang ada hanya sosialisasi yang tiba-tiba sudah ada penetapan harga dan bukan musyawarah, " tegas Wardi.
Terkait rencana renovasi Pasar Pusat Pertokoan Bekasi itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemkot Bekasi Supriyanto kepada SH mengakui, pemerintah daerah sebagai pemilik pasar akan melakukan renovasi dengan pihak ketiga dari PT Aneka Sumber Daya Energi dalam bentuk kerja sama investasi.
Soal tuntutan pedagang yang tidak diajak musyawarah dalam penetapan harga, dia mengaku kurang tahu. "Silakan tanya kepada Dinas Perekonomian yang membidangi pasar," katanya.
Yang membuat miris, mereka diintimidasi melalui surat dari Kepala Unit Pasar tersebut yang berisi agar semua pedagang selambatnya, tanggal 9 Januari 2009 lalu, mendaftarkan diri dan membayar uang booking Rp 2 juta. Jika tidak mendaftar dan membayar uang booking, dianggap mengundurkan diri dan semua haknya hilang. "Ini yang membuat kami miris dan ketakutan," kata pedagang itu. Ya, nasib wong cilik di negeri ini memang tidak pernah mulus! n


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/26/jab06.html

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar