23 Februari 2009

Rakyat Makin Terpuruk

Kajian Intercafe

Rakyat Makin Terpuruk

[JAKARTA] Sejak empat tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan satu fundamental ekonomi terpentingnya, yaitu stabilitas. Paket kebijakan yang diterapkan tidak tepat, sehingga ujung-ujungnya adalah tingkat penderitaan rakyat makin dalam.

"Terutama dalam satu tahun terakhir ini," kata Iman Sugema, Direktur Intercae, dalam diskusi mengenai hasil kajian lembaga penelitian International Center for Applied Finance and Economics (Intercafe) tersebut di Jakarta, pekan lalu.

Ciri-ciri tidak adanya stabilitas itu, Iman memerinci, tingginya tingkat inflasi, nilai tukar rupiah yang buruk, cadangan devisa menukik tajam, penurunan harga sama. "Dan ujung-ujungnya adalah tingkat kesengsaraan masyarakat yang makin besar," ujarnya.

Berdasarkan catatan Intercafe, inflasi pada tahun 2005 yang sebesar 18,3% merupakan yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Kemudian, dilanjutkan dengan kolapsnya bursa saham sebesar 60%.

"Saat ini, nilai tukar rupiah juga sudah menembus angka psikologis, yaitu Rp 12.000 per dolar AS, sementara intervensi oleh Bank Indonesia yang menggunakan cadangan devisa terus dilakukan. Akibatnya, cadangan devisa sudah tertelan di pasar valuta lebih dari US$ 10 miliar," katanya.

Mestinya, menurut Iman, situasi ini tidak terjadi, mengingat modal yang digunakan pemerintahan sekarang, sangat bagus. Pada tahun 2004, katanya, inflasi sedang turun, suku bunga terkendali, dan bursa saham terjaga.

Bahkan, Bank Indonesia juga mencatat bahwa kegiatan usaha telah mengalami penurunan pada kuartal keempat tahun lalu. Pada kuartal pertama tahun ini, kondisi tersebut akan berlangsung. Pemutusan hubungan kerja secara massal, makin dekat.

Situasi ini, menurut ekonom dari Intercafe, Nunung Nuryantono, membut jumlah korban PHK sangat besar. Alasannya, daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan, sehingga barang produksi akan mengalami penumpukan.

"Nah, kalau sudah begitu, pengusaha akan banyak PHK buruhnya," ujarnya.

Akibat dari semua ini semakin jelas, indeks kesengsaraan rakyat atau yang bisa dikenal dengan sebutan misery index, meningkat tajam dibandingkan Desember 2004, yang hanya 16,3%.. Pada bulan yang sama tahun lalu, sudah melonjak sampai 19,4%.

Beras Mahal

Dengan gamblang, Nunung menegaskan, angka tersebut menunjukkan posisi rakyat terus terpojok, sementara pemerintah tidak jujur. Di antaranya, ekspos tentang negara yang surplus beras. Faktanya, harga beras di pasar justru mahal.

"Begitu juga dengan minyak goreng yang diiklankan sudah turun, tapi tetap tinggi harganya. Ini sudah tidak masuk logika," tandasnya.

Lebih jauh, Direktur Megawati Institut, Arif Budimantan menilai, krisis yang terjadi sekarang lantaran Indonesia berkiblat pada ekonomi neoliberalisme, yang mengacu ke-pada Amerika Serikat,bahkan ketergantungan. Sehingga, ketika negara tersebut mengalami krisis, Indonesia langsung terkena dampaknya.

Arif juga memiliki penilaian sama, bahwa pilihan yang akan diambil pengusaha adalah perampingan, dengan mengurangi ongkos produksi. Karyawan akan menjadi objek pertama, yaitu terkena PHK.

"Ini semua akan memberikan kontribusi pada angka kemiskinan. Jika dikatakan menurun sangat ironi, mengingat faktanya justru sedang sulit," paparnya.

Beban rakyat juga semakin dalam, lanjut Arif, karena harga kebutuhan pokok terus naik. Dalam catatannya, harga beras dari tahun 2004 hingga 2008, justru mengalami kenaikan dua kali lipat. "Kalau pemerintah bilang ada surplus, omong kosong!".

Parahnya, lanjut Iman, pemerintah tidak siap mengantisipasi sejak awal krisis terjadi di Amerika Serikat. Banyak ekonom yang bilang, termasuk pemerintah, Indonesia tidak akan terpengaruh. Fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. "Faktanya, kondisinya jadi jauh lebih buruk." [N-6]


Last modified: 22/2/09

http://202.169.46.231/spnews/News/2009/02/23/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar