Saat Keadilan Begitu Menggetarkan Oleh Fransisca Ria Susanti HONG KONG – Perempuan itu keluar dari ruang sidang pengadilan di Kwun Tong, Hong Kong dengan membawa perasaan yang sulit dijelaskan. Kegembiraan membuncah di dada dan di matanya. Ia dibebaskan dari tuduhan yang selama ini selalu berhasil menyeret kawan-kawannya ke balik jeruji penjara Hong Kong. Hakim pemimpin sidang tanpa ragu-ragu menunjukkan simpati padanya. Mengatakan bahwa satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menjamin keadilan tetap terjaga, hanyalah dengan cara membebaskannya. Perempuan itu bernama Tatik Krisnawati, seorang buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga. Umurnya 30 tahun. Ia adalah ibu dari seorang bocah lelaki usia dua tahun yang ia tinggalkan di kampung halamannya nun jauh di Tulungagung. Ia dibebaskan dari tuduhan pelanggaran kontrak kerja yang diajukan oleh kepolisian Hong Kong dan Departemen Hukum. Nyaris Kehilangan Waktu Tidur Dalam kontrak disebutkan bahwa Tatik hanya boleh bekerja di satu rumah milik majikan yang menandatangani kontraknya, di Wong Tai Sin, Hong Kong. Namun praktiknya, Tatik mesti bekerja juga di rumah ibu sang majikan. Ia nyaris kehilangan waktu tidur dan istirahat, bekerja 17 jam setiap hari sejak ia diambil oleh majikannya pada Juli 2008 lalu. Sebenarnya, ini kasus jamak di Hong Kong. Hampir seluruh kontrak kerja yang ditandatangani pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia dengan majikan melanggar aturan ketenagakerjaan yang ditetapkan Hong Kong. Perusahaan dan agen tenaga kerja penyalur para pekerja migran punya peran dalam pelanggaran tersebut. Sebut saja soal pemberian gaji. Aturan hukum Hong Kong menyebut bahwa standar upah minimum untuk PRT asing adalah HK$ 3.580 per Juni 2008 lalu. Namun, hampir seluruh PRT asal Indonesia yang baru pertama kali masuk ke Hong Kong–terlebih bila sebelumnya tidak pernah bekerja di luar negeri--menerima gaji jauh di bawah standar, antara HK$ 1.800-2.500. Namun, gaji ini pun baru bisa mereka terima penuh pada bulan keenam atau kedelapan karena mereka mesti membayar biaya penempatan (yang masuk ke kantong PJTKI dan agen di Hong Kong) sebesar HK$ 21.000. Angka ini termasuk HK$ 3.000 yang disebut oleh PJTKI sebagai bunga bank, karena perusahaan-perusahaan penyalur ini memang bekerja sama dengan lembaga finansial untuk menyalurkan dan menempatkan para buruh migran ini. Padahal aturan hukum Hong Kong menyebut bahwa agen penempatan hanya berhak untuk mengutip komisi sebesar 10% dari gaji pertama yang diterima oleh pekerja. Sementara itu, untuk urusan pembuatan paspor, biaya pelatihan selama di penampungan, dan uang tiket dibebankan kepada majikan. Namun dalam praktiknya, hampir semua biaya dibebankan ke buruh migran, plus majikan diminta membayar antara HK$ 3.000-6.000 untuk satu pekerja yang ia ambil. Pelanggaran kontrak lainnya adalah tak adanya hari libur atau pemberian libur yang tak sesuai dengan aturan hukum Hong Kong, dipekerjakan lebih dari satu rumah (ada banyak kasus seorang buruh migran asal Indonesia mesti bekerja di empat hingga enam rumah), dipekerjakan di toko atau pasar, atau disuruh menjaga anjing hingga puluhan ekor. Kondisi ini membuat Labour Department, hampir tiap hari dipenuhi oleh buruh migran asal Indonesia yang memasukkan gugatan ke majikan mereka. Sementara itu, di Labour Tribunal, nyaris tiap hari ada sidang gugatan dari buruh migran asal Indonesia, bisa lebih dari dua orang per hari. Seorang hakim di Labour Tribunal bahkan sempat menyampaikan kegemasannya di ruang sidang karena selama sembilan tahun masa tugasnya, ia menyaksikan kasus gugatan ke majikan yang diadukan PRT asal Indonesia rata-rata mencapai 8-9 kasus per minggu. Namun, hampir rata-rata kasus gugatan ke majikan berakhir damai dengan kesepakatan majikan untuk membayar separuh atau kurang dari klaim awal yang diajukan pekerjanya. Terobosan Kasus Tatik sendiri unik karena yang memasukkan tuntutan ke pengadilan adalah polisi dan Departemen Hukum. Hampir dalam semua kasus tudingan pelanggaran kontrak semacam ini, akan berakhir dengan hukuman penjara bagi terdakwa. Sebelumnya, Tatik sempat ditahan di penjara Tai Lam atas tudingan mencuri uang majikan sebesar HK$ 38.000. Tuduhan ini muncul setelah Tatik kabur dari rumah karena tak tahan dengan beban pekerjaan yang berat. Tudingan pencurian semacam ini jamak dilakukan oleh majikan Hong Kong setiap kali ada pekerjanya yang kabur dari rumah. Tudingan ini kemudian tak terbukti. Tatik dibebaskan setelah sempat menginap di tahanan selama satu bulan. Namun, begitu keluar dari ruang sidang, pada hari yang sama, Tatik ditangkap lagi atas tuduhan pelanggaran kontrak kerja. Di sinilah keadilan kemudian bicara. Dalam sidang putusan untuk kasus pelanggaran kontrak kerja yang digelar 9 Februari lalu, Hakim Amanda Jane Woodcock melontarkan kritik kepada pihak kepolisian dan Departemen Hukum karena mengajukan Tatik sebagai terdakwa. Hakim mengatakan, kasus tersebut murni sebagai kasus eksploitasi, dan tak habis pikir mengapa pihak kepolisian dan Departemen Hukum tidak menuntut majikan dan ibu majikan di mana Tatik dipekerjakan. Selain menyalahkan polisi dan Departemen Hukum, Woodcock juga mengecam agen pengerah jasa tenaga kerja karena telah membuat Tatik sengsara. Woodcock menyebut bahwa agen hanya tertarik menyelamatkan komisi yang mereka dapat dari potongan lima bulan gaji milik Tatik. "Saya senang sekali. Padahal saya berpikir bakal kena blacklist dan enggak boleh bekerja di Hong Kong lagi," ujar Tatik. Sementara itu, Devi Novianti, Manager Domestic Helpers & Migrant Workers Program dari Christian Action, lembaga yang memberi bantuan advokasi bagi PRT asal Indonesia, mengatakan, ini pertama kalinya polisi mendapat teguran. Menurutnya, selama ini, polisi memang selalu mendahulukan untuk menuntut ke pekerjanya dibanding menuntut sang majikan. Oleh karena itu, Devi menyambut baik terobosan dan putusan yang dibuat oleh hakim tersebut. 'Mestinya sudah dari dulu hal ini terjadi," ungkapnya. n
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/19/sh03.html |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar