24 Februari 2009

“Bunga Trotoar”, Anak Tiri di Ibu Kota

"Bunga Trotoar", Anak Tiri di Ibu Kota 



Pengantar Redaksi:
Persoalan pedagang kaki lima (PKL) tetap menjadi pekerjaan rumah yang hingga kini tidak pernah tuntas. Tragisnya, Pemda Jakarta tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai hal itu. Berikut laporan khusus tentang PKL dan permasalahannya yang juga tersaji di halaman 10.


JAKARTA – Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, seusai menutup Konferensi Nasional Perhimpunan Masyarakat Melayu Baru Indonesia (Mabin) di Jakarta, Rabu (18/2), menegaskan bahwa pihaknya akan menertibkan retribusi pedagang kaki lima (PKL), terutama di lokasi binaan yang izin operasinya tidak diperpanjang.
Penegasan itu disampaikan Fauzi Bowo menanggapi keluhan para pedagang, terutama di Batu Tulis, Paseban, dan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang mempertanyakan pemungutan retribusi, padahal status lokasi tempat mereka berdagang tidak diperpanjang sejak tahun 2007.
Kejadian ini setidaknya menggambarkan bahwa nasib PKL yang digambarkan penyanyi Iwan Fals sebagai "bunga trotoar" di Ibu Kota hingga kini tetap menjadi objek pemerasan yang dilakukan aparat Pemda Jakarta. Bayangkan, di lokasi PKL binaan saja pemungutan retribusi dapat terjadi. Padahal, jelas-jelas lokasi tersebut akan segera digusur. Bagaimana dengan PKL liar yang pasti bukan binaan Pemda Jakarta? Mereka tentunya menjadi "mesin uang" mulai dari aparat ketertiban, polisi hingga preman.
Padahal, diakui atau tidak, PKL merupakan katup pengamanan yang telah teruji ketika negeri ini terkena imbas krisis ekonomi 1997. Tidak bisa dimungkiri, PKL adalah bagian dari aktivitas sektor informal yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari perkembangan sebuah kota. Harganya yang terjangkau, tempat berjualan yang fleksibel, dan dekat dengan konsumen membuat PKL menjadi sandaran hidup sekaligus tempat alternatif berbelanja makanan dan barang bagi sebagian besar warga kota, termasuk juga di Ibu Kota Jakarta.
Satu lagi yang tidak pernah dipikirkan pengelola kota, seperti Jakarta, PKL merupakan sektor yang paling banyak dipilih warga ketika mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kepala Balai Latihan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Dwi Oentoro di Jakarta, Jumat (20/2) siang, memperkirakan pada akhir tahun 2009 angka kasus PHK di Jakarta bakal mencapai 42.804 orang akibat dampak krisis keuangan global. Secara tidak langsung, kondisi akan menambah jumlah PKL di Ibu Kota. Mereka yang di-PHK itu akan memilih berusaha di sektor informal.
Singkat kata, PKL amat cocok membantu mengatasi masalah pengangguran yang dengan sendirinya menaikkan tingkat perekonomian kota. Jumlah ini bisa terus bertambah asal ada pemberdayaan yang baik.
Namun, yang terjadi sekarang ini malah sebaliknya. Pemda Jakarta memandang sebelah mata pada usaha kerakyatan. Hal ini bisa dibuktikan bagaimana Pemda Jakarta lebih berpaham kapitalis dibanding paham ekonomi kerakyatan. Pemda Jakarta dengan royalnya memberi izin bagi pasar-pasar modern, supermarket, pasar swalayan, mal, dan hipermarket untuk tumbuh subur di berbagai badan kota. Di sisi lain, Pemda Jakarta malah menggusur dan mengobrak-abrik PKL

Perusak Keindahan Kota
Selama ini, Pemda Jakarta menganggap PKL hanyalah dipandang sebatas pelanggar ketertiban, perusak keindahan kota, dan biang kemacetan sehingga Pemda Jakarta belum mengategorikan PKL sebagai rakyat yang berhak atas kehidupan yang lebih baik. Dengan sikap seperti ini, otomatis Pemda Jakarta menaruh PKL di luar pikiran yang membutuhkan perhatian serius sekaligus menafikan PKL sebagai rakyat yang butuh perlindungan dan pengayoman.
Sepatutnya paradigma penertiban diubah menjadi pemberdayaan karena sebenarnya banyak keberadaan PKL yang dapat menjadi daya tarik pariwisata. Salah satu buktinya adalah Pasar Bunga Rawa Belong di Jakarta Barat dan Pasar Barang Antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Pemda Jakarta sebenarnya bisa melihat potensi PKL dari sisi ini.
Di Singapura, penataan PKL diintegrasikan dengan pengembangan pusat perbelanjaan, selain ada juga zona-zona tertentu untuk PKL. Jadi, kita tidak akan menemukan PKL di Singapura. Bukan karena tidak ada, tetapi alokasi ruang untuk PKL telah diintegrasikan dengan ruang publik untuk mal.
Sementara itu, di Bangkok PKL telah dijadikan sebagai bagian dari budaya masyarakat. Pemerintah Bangkok benar-benar memanfaatkan PKL untuk mendukung pariwisata di kota itu dengan menerapkan model beragam dalam penataan PKL, di antaranya mereka menerapkan sistem zona, yaitu daerah-daerah tertentu yang dialokasikan untuk PKL, menerapkan waktu berdagang seperti week end (yang hanya buka pada Sabtu-Minggu), pasar malam (yang buka pada jam 15.00-24.00), mengintegrasikan PKL dengan mal atau pusat perbelanjaan, serta memberi izin PKL di pedestrian, sekitar taman dan trotoar dengan persyaratan tertentu.
Kalau Singapura dan Bangkok bisa bersahabat dengan PKL, mengapa Pemda Jakarta tidak bisa? Malah sebaliknya, PKL dianggap sebagai musuh bebuyutan yang harus disingkirkan dari Ibu Kota karena dianggap sebagai biang kerok keindahan kota. Jujur saja, mana yang lebih baik, PKL yang selalu dituding merusak keindahan kota, tetapi survive ketika krisis ekonomi datang atau petugas ketertiban dan gengnya yang terus mengutip pungutan dari PKL hingga yang tersisa hanya seperti ampas parutan kelapa? Ternyata dalam hal pembinaan PKL, Pemda Jakarta masih setengah hati! (norman meoko)



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/23/jab04.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar