28 Januari 2009

Hidup Makin Sulit, Gangguan Jiwa Mengintip

Last modified: 17/10/08

SUARA PEMBARUAN DAILY


[SP/M Kiblat Said]

Pasien gangguan jiwa penghuni bangsal rawat inap di bangunan tua RS Dadi Makassar. Jumlah pasien seperti ini kini sudah melebihi daya rumah sakit.

Sungguh mencemaskan! Hasil studi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan dalam kurun waktu hanya tiga tahun, sejak 2005 hingga 2007, diketahui sedikitnya ada 50.000 orang Indonesia bunuh diri. Studi tersebut menyebutkan, kemiskinan dan impitan ekonomi merupakan penyebab tingginya jumlah orang yang mengakhiri hidupnya sendiri.

Kemiskinan dan impitan ekonomi juga menjadi penyebab banyaknya masyarakat menderita sakit jiwa. Banyak orang rentan terhadap stres dan kecemasan yang mengakibatkan gangguan jiwa. Meskipun sekarang ini belum menjadi perhatian banyak orang, masalah gangguan kejiwaan tak bisa dipandang sebelah mata. Kondisi ini berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi di sejumlah kota besar. Di RS Jiwa Pusat Jakarta tercatat 10.074 kunjungan pasien gangguan jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007.

Di Medan, menurut Direktur RSJ Sumut, Donald F Sitompul, jumlah pasien meningkat 100 persen dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada awal 2008, RSJ Sumut menerima sekitar 50 penderita per hari untuk menjalani rawat inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan. Sementara pada 2006-2007, RSJ hanya menerima 25-30 penderita per hari.

Tekanan ekonomi dinilai sebagai salah satu pemicu meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa. "Memang terjadi peningkatan jumlah pasien yang cukup tajam pada tahun ini. Kalau faktor penyebab, umumnya kelabilan jiwa di tengah tidak stabilnya perekonomian keluarga," kata Donald.

Di Malang, Direktur RS Jiwa Pusat Dr Radjiman Wediodiningrat, dr Eko Susanto Marsoeki SpKJ, menyatakan prevalensi jumlah penderita gangguan jiwa berat rata-rata mencapai tiga jiwa per 1.000 orang dan gangguan jiwa ringan tidak kurang dari 179 jiwa per 1.000 orang. Jika terjadi tekanan-tekanan hidup, seperti dalam satu-dua tahun terakhir, dapat dipastikan angka prevalensi gangguan jiwa berat meningkat hingga sembilan jiwa per 1.000 orang dan gangguan jiwa ringan membengkak menjadi tidak kurang 250 jiwa per 1.000 orang.

Sedangkan, data yang diperoleh dari RSJ di seluruh Indonesia menyebutkan hingga saat ini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta jiwa.

Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan (Depkes), dr H Syafii Ahmad MPH, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara, termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stres tersebut.

Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan, pada rentang usia 5 - 14 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk.

Menurut Syafii, kejadian-kejadian seperti besarnya angka bunuh diri dan semakin tingginya tingkat stres masyarakat tersebut seluruhnya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek kejiwaan, seperti agresivitas, emosi yang tidak terkendali, ketidakmatangan kepribadian, depresi karena tekanan kehidupan, tingkat kecurigaan yang meningkat, dan persaingan yang tidak sehat.

Menurut pakar kesehatan jiwa, dr Albert Maramis SpKj, masalah kesehatan jiwa sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kesehatan perseorangan maupun masyarakat. Gangguan jiwa, walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi, karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif.

Prioritas

Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Depkes, dr H Aminullah kepada SP di Jakarta mengatakan anggaran yang dialokasikan untuk kesehatan jiwa masih sangat minim, padahal kesehatan jiwa merupakan masalah masyarakat yang tidak kalah penting untuk dituntaskan pemerintah. Setiap tahun anggaran untuk kesehatan jiwa tidak ada penambahan yang berarti, sementara angka penderita gangguan jiwa semakin meningkat.

Tahun 2008, anggarannya Rp 8 miliar dan pagu sementara untuk 2009 sebesar Rp 9 miliar dari usulan Rp 23 miliar. "Dana selama ini tidak tercukupi, sehingga kita hanya bisa menampung orang yang sudah menderita gangguan jiwa berat di rumah sakit, tetapi tidak bisa menyelesaikannya sampai tuntas," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan anggaran selama ini tidak mencukupi untuk penambahan sarana pelayanan, sistem informasi yang lengkap, peningkatan SDM, dan pengadaan obat-obatan bagi penderita gangguan jiwa.

Meski selama ini sudah ada Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin), persediaan obat-obatan tetap masih kurang.

Ditambahkan, untuk mengatasi masalah gangguan jiwa, bukan hanya dengan penyembuhan secara fisik ketika penderita itu dirawat di rumah sakit, melainkan juga dibutuhkan penanganan secara preventif, promotif, terapi, terianostik, serta rehabilitasi.

Sebaliknya yang terjadi selama ini, penanganan hanya secara medis, yakni perawatan terhadap penderita yang sudah mengalami gangguan jiwa berat di rumah sakit jiwa.

Aminullah berharap penanganan penderita gangguan jiwa bisa menjadi prioritas pengambil kebijakan, karena menjadi beban ekonomi dan sosial yang berat bagi pemerintah. Jika tidak serius ditanggulangi dan penderita semakin banyak, penanganannya akan makin sulit. Kalau itu terjadi, kehidupan masyarakat pasti terganggu. [DMF/E-5/AHS/070]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar