24 Maret 2009

Pemilik Vila Liar di Puncak Diberi Waktu 1,5 Bulan

Senin, 02 Maret 2009

Media Indonesia

BOGOR--MI: Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, pihaknya memberikan tenggang waktu 1,5 bulan bagi pemilik vila liar di Puncak, Kabupaten Bogor, terhitung sejak inspeksi mendadak yang dilakukannya akhir Januari lalu, untuk mengurus keabsahan perizinan bangunan atau membongkar sendiri vila-vila ilegal di kawasan wisata tersebut.

"Tenggang waktu tersebut diberikan terhitung sejak saya melakukan sidak (inspeksi mendadak) di Puncak pada 21 Januari lalu," katanya Witoelar disela kunjungan kerja bersama empat menteri ke Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (2/3).

Kunjungan kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan untuk memulihkan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung secara terpadu. Ke empat menteri yang melakukan kunjungan kerja tersebut adalah Rachmat Witoelar, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Kehutanan MS Kaban, dan Menteri Pekerjaan Umum, Joko Kirmanto. Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dan Wakil Bupati Bogor, Karyawan Faturachman.

Dari sekitar 5.000 vila yang ada di Puncak, lanjut dia, sebanyak 251 diantaranya sudah teridentifikasi melanggar peraturan dan harus dibongkar. "Ke 251 vila tersebut terus dipantau dan harus dibongkar. Lahan-lahan tersebut nantinya akan dikembalikan fungsinya ke alam," kata Rachmat Witoelar.

Ia menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan penertiban vila-vila liar di kawasan tersebut sebagai upaya penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk vila liar yang dimiliki oleh pejabat negara.

Sementara itu, Wakil Bupati Bogor Karyawan Faturachman mengatakan, hingga saat ini pihaknya baru sampai pada tahap identifikasi vila yang dinilai liar. "Kita harus melihat lokasinya terlebih dahulu. Kalau dibangun di tanah adat, masalahnya adalah vila tidak memiliki IMB. Tapi kalau dibangun di kawasan hutan lindung, ijin sudah pasti tidak ada dan harus dibongkar," katanya.

Ia mengakui bahwa pembongkaran vila-vila liar tersebut bukan hal yang mudah. "Tidak bisa semuanya langsung dibongkar. Harus ada penyelesaian dengan toleransi untuk menyelamatkan aset," katanya. "Beberapa langkah yang bisa menjadi solusi diantaranya adalah dengan meminimalisasi area tutupan, membuat terasering, penanaman pohon, serta pembuatan sumur resapan."

Mengenai perambahan hutan lindung oleh petani lokal, Karyawan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu masalah yang sulit diatasi oleh pihak Pemkab karena alasan kemanusiaan. "Ada proses-proses yang masih bisa ditolerir. Namun masalahnya, ketika jalan sudah diperlebar, petani justru menjual lahan itu ke orang Jakarta untuk dijadikan vila," katanya. "Oleh karena itulah, penertiban kawasan hutan lindung khususnya di Puncak, memerlukan sentuhan manusiawi sehingga tidak melawan nilai-nilai lokal yang berlaku."

Dalam sidak di Desa Citamiang, Cisarua akhir Januari lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar meminta agar tidak ada lagi pembangunan baru serta dilakukan pembongkaran bangunan liar seperti vila dan rumah di kawasan Puncak. Pendirian bangunan liar tersebut dinilai telah mempersempit luas hutan lindung yang mengakibatkan banjir dan longsor.

Sejak tahun 1972 hingga 2005, diperkirakan 30,36 persen wilayah vegetasi hutan di kawasan Puncak hilang akibat pendirian vila dan pemukiman dan dari 5.000 bangunan di kawasan tersebut, hampir 1.500 unit tidak memiliki IMB. Sesuai dengan Keppres Nomor 144/1999 mengenai penataan ruang Bopuncur dinyatakan bahwa fungsi utama kawasan Puncak tersebut sebagai resapan air dan tanah. (Ant/OL-03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar