Selasa, 31 Maret 2009
TEMPO Interaktif, Jakarta: "Ada pemilu atau tidak, nasib kami tidak berubah," demikan tulisan yang tertera pada kaos yang dipakai anggota Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) saat menyatakan sikap organisasinya terhadap Pemilu 2009.
"Betul, tak ada yang berubah pada kehidupan kami, satu-satunya yang berubah adalah penderitaan kami dalam setiap pemilu," ungkap Sringatin, Ketua IMWU dalam keterangan persnya yang diterima Tempo, Selasa (31/3)
Ia menilai, Presiden maupun anggota DPR yang terpilih, dalam merumuskan kebijakan cenderung antiburuh migran. "Bagi kami, Pemilu 2009 merupakan pergantian antek-antek dari kaum pengusaha, yang selama ini menghisap nilai kerja kami. Setiap rejim berganti hak-hak buruh dan keluarganya diabaikan pemerintah."
Survei yang mereka lakukan di Hong Kong menyebutkan, saat Orde Baru tidak kurang dari 90 persen buruh migran menerima upah di bawah standar. itu terjadi lantaran ada pemotongan biaya agen, kutipan biaya di bandara, sampai biaya perpanjangan kontrak yang dilegalkan melalui Surat Keputusan Direktorat Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja pada 1998.
Pada rejim Presiden Susilo bambang Yudhoyono, Sringatin mengungkapkan, praktek penghisapan semakin hebat. Kebijakan ekspor buruh digalakan, setiap tahunnya 1 juta orang dikirim ke luar negeri untuk mencapai target devisa sebesar Rp 125 triliun. Guna memuluskan proyek ini undang-undang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri diubah untuk mempermudah pendirian Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia.
Di Hong Kong saat ini ada sekitar 120 ribu perempuan Indonesia bekerja layaknya romusa. Kebanyakan mereka sebagai pembantu rumah tangga. "Kami bekerja lebih dari 16 jam per hari. Hanya 1 persen dari kami yang bekerja selama 8 jam per hari," kata Sringatin.
ELIK S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar