Oleh : S.a. Ariesita
28-Feb-2009, 03:07:33 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Banyak kota besar di Indonesia kian kumuh, macet, dan banyak lagi keluhan tentang ketidaknyamanan kota ini. Termasuk Bandung sebagai salah satu contoh.
Bagi para pendatang dan pelancong wisata belanja masa kini, mungkin semua dianggap lazim. Tapi bagi mereka yang lahir dan dibesarkan di kota ini, sangat terasa kontras berbeda dengan kenyamanan tempo dulu ketika Bandung masih sarat kesegaran atmosfernya.
Tumbuhnya sektor informal di Bandung, kini menjadi masalah. Sektor informal seperti PKL, penjaja asongan, tukang becak, tukang gali musiman, dan semua yang masuk dalam kualifikasi informal lainnya, umumnya menempati kawasan informal pula. Gubuk-gubuk liar, rumah permanen liar, yang semuanya dibangun dengan tata cara yang tidak mengindahkan aturan.
Kekumuhan perumahan ini menempati bantaran sungai, kolong jembatan, tanah kosong seputar rel kereta api, bahkan taman-taman kota. Masih masalah, tempat usaha mereka, simak saja trotoar di banyak tempat. Tidak ada kenyamanan warga kota menyusuri trotoar jalan.
Bahkan di atas saluran air sekalipun, pondok dagangan mereka menutupi saluran tersebut di atasnya. Apapun masalah mereka, jika hanya dipandang dari segi keindahan dan kenyamanan kota, mereka cenderung digusur begitu saja. Padahal, mereka juga manusia yang membutuhkan kesempatan mencari nafkah.
Hanya saja, keterbatasan mereka dalam ekonomi, sosial, pendidikan dan pengetahuan, membuat mereka bertindak sebatas naluriah saja dalam mencari nafkah. Buta hukum, buta aturan, dan tak tahu lagi harus bagaimana. Mereka tumbuh dari kalangan yang tidak memiliki modal untuk mengenyam pendidikan yang layak. Bahkan bisa jadi mereka tersingkirkan dari tanah warisannya sendiri di pinggiran kota, yang dijual dengan harga murah kepada para pengembang perumahan dan banyak lagi.
"Pembenahan kota tidak hanya menyentuh pembenahan fisiknya saja, melainkan yang terlebih penting adalah peningkatan kesejahteraan penduduknya, sehingga timbul rasa memiliki kota. Hanya dengan demikianlah maka kota-kota akan berkembang dengan sehat , tidak seperti kota Frankfurt yang diejek dengan nama Krankfurt (artinya: kota yang sakit); atau metropolis yang diplesetkan menjadi miseropolis (alias kota yang menyengsarakan," tulis Prof. Ir. Eko Budihardjo , Msc, dalam bukunya "Kota Berwawasan Lingkungan" (Alumni 1993; hal 44) yang ditulis bersama dengan Ir. Sudanti Hardjohubodjo, MS.
Masih dalam buku yang sama, Prof. Eko menuliskan (hal 56), "Kota memang terbentuk dari perangkat keras bangunan, jalan dan infrastruktur. Tetapi yang menghidupkan kota itu sendiri adalah manusia dengan segenap perilakunya. Ada hubungan yang erat antara city (kota) dan citizen (warga). Saling hubungan itu yang acapkali terlupakan."
Penggalan-penggalan opini dari pakar perkotaan tersebut mungkin sudah terlalu lama, tahun 1993. Namun relevansinya masih menggigit untuk dikaitkan dengan kondisi kota Bandung dewasa ini, kota yang semakin padat, dengan beban berat yang begitu rumit.
Masalah perkotaan adalah integrasi dari semua aspek kehidupan. Tidak bisa hanya sebatas memperhatikan pertumbuhan ekonomi belaka, atau keindahan fisik semata, tetapi juga masalah sumber daya manusia, termasuk pengakomodasian masyarakat akar rumput yang semakin melambung jumlahnya, seiring kian sulitnya perekonomian bangsa dewasa ini.
Penggusuran dan Masalahnya
Penggusuran kini sudah menjadi lazim dalam mengatasi pemukiman sektor informal, alias slum, alias permukiman kumuh. Biasanya pula kawasan baru yang bakal muncul nantinya, seperti pertokoan atau perkantoran mewah, plus fasilitas lainnya, yang notabene hanya cenderung memihak kelas menengah ke atas.
Bahkan penduduk asal tempat tersebut sama sekali tak menerima manfaat apa-apa dengan keberadaan lingkungan baru. Biasanya penduduk asal lokasi tadi akan mencari alternatif tempat tinggal baru di pinggiran kota yang relatif masih murah.
Alternatif pemecahan lain, di beberapa kota besar dibangun pula oleh pihak pemerintah rumah-rumah susun sederhana di perkotaan dengan aktifitas perekonomian yang tinggi. Contohnya di kawasan Kemayoran Jakarta. Akan tetapi pada akhirnya justru menimbulkan masalah sosial dan munculnya kriminalitas, remaja-remaja tangsi, premanisme rumah susun, serta pengkotak-kotakkan gap lingkungan miskin dan kaya di kota.
Penggusuran penghuni kampung kumuh kota biasanya juga memindahkan mereka ke permukiman khusus hunian di pinggiran kota. Mekanisme ini tidak mengangkat perekonomian penghuninya, bahkan justru menambah beban mereka.
Dengan lokasi tempat tinggal baru, mereka harus mengeluarkan ongkos tranportasi yang mahal ke tempat kerjanya di kota. Malah ada yang merasa lebih baik berhenti bekerja karena gajinya lebih kecil dari ongkos angkutan umum ke tempat kerja sehari-hari. Lalu muncullah pengangguran baru. Padahal banyak lapangan kerja di kota yang membutuhkan pekerja kasar dan buruh yang tinggalnya tak berjauhan dari tempat tinggalnya.
Tradisi kumuh, kerapkali dibawa mereka, sekalipun ditempatkan di perumahan baru pinggiran kota. Karena masalah kumuh, harus diberantas dengan memberantas keterbelakangan kecerdasan, baik kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, maupun kecerdasan spiritual. Juga memberantas kemiskinan dan sistem perekonomian yang selalu membuat mereka, pihak yang termarjinalkan. Masalah keindahan dan kebersihan kerapkali menjadi masalah dalam urutan terakhir bagi mereka yang keburu letih memikirkan kerasnya hidup, dan kebutuhan makan esok paginya.
Simak saja permukiman baru mereka, rakyat yang tergusur ke pinggiran. Tak selalu memberikan jalan keluar. Rumah yang terlalu sempit dan jauh dari syarat kesehatan. Perumahan murah kerap tak mengindahkan kepentingan cukupnya jumlah kamar tidur dan kaitannya dengan fungsi seksual biologis orang dewasa, laki-laki dan perempuan.
Masalah kehilangan pekerjaan yang jauh di kota, perekonomian rakyat memburuk, memunculkan manusia yang gemar berkumpul di ujung lorong atau di tempat-tempat umum karena ketidak-nyamanan hunian mereka. Tekanan hidup menggiring mereka melakukan penyimpangan sosial (mabuk-mabukan, kriminal dan sebagainya). Tiadanya fungsi rumah memadai bagi mereka, mendorong tumbuhnya anak-anak yang memilih jalanan sebagai dunia mereka.
Kemacetan Akibat Menggusur ke Pinggiran
Menggusur permukiman kumuh di kota, paling mudah dengan cara menempatkan mereka di pemukiman baru pinggiran kota. Dari sudut ekonomi, pengembangan perumahan di pinggiran, mungkin menguntungkan. Ada laba bagi pengembang, pemasar, menambah pendapatan daerah, dan menguntungkan semua mata rantai yang berhubungan dengan proses pembebasan tanah, pembangunan sampai pemasarannya.
Tapi tinjauan ekonomi tak dapat dilihat secara sempit karena ada nilai-nilai keuntungan dan kerugian yang tidak dapat dinilai secara kasat mata. Misalkan saja kerugian ekologi dan lingkungan hidup saat menghabisi lahan pertanian dan sawah untuk permukiman baru. Kerugian menurunnya kualitas sumber daya manusia yang secara tak langsung akan merongrong aktifitas ekonomi makro muncul.
Penyebaran permukiman penduduk ke pinggiran, kerapkali tidak disertai dengan menyertakan fasilitas perkantoran, rumah sakit, apotek, lembaga pendidikan/sekolah, pusat perbelanjaan dan hiburan memadai ke daerah pinggiran. Pembangunan megah-megahan dengan fasilitas kenyamannya umumnya terpusat di kota (contohnya pembangunan BTC di Dr. Junjunan, ITC di Kebon Kelapa, BSM di Gatot Subroto).
Akibatnya, setiap pagi dan petang jalur-jalur yang menghubungi wilayah tersebut dengan pusat kota dilanda kemacetan, terutama pada jam-jam sibuk. Jalur tranportasi terbebani arus migrasi sekuler dari arah pinggiran ke pusat kota atau sebaliknya, secara ekonomi sebenarnya merugikan.
Berapa banyak kualitas kerja sumber daya manusia terkikis oleh keletihan di perjalanan, waktu yang habis karena terjebak macet, uang yang dikeluarkan untuk transportasi (ongkos angkot dan BBM)? Belum lagi efek negatif dari polutan kendaraan bermotor yang membelah jalan raya sepanjang hari? Dapatkah kota ini dikatakan sehat kalau sumber daya manusianya bisa jadi mengalami penurunan kualitas kerja, bisa jadi diikuti dengan penurunan kualitas kesehatan fisik dan psikis. Maka, sepantasnyalah dipikirkan dan dipertimbangkan kembali suatu bentuk sistem dan mekanisme yang lebih bijak dan adil, serta menguntungkan semua pihak, tidak ada yang terluka, atau dikecewakan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat penghuni asal. Juga akan mendukung perekonomian, tata lingkungan sepenuhnya.
Pada dasarnya lingkungan kumuh terbentuk dari integrasi keterbelakangan ekonomi, sosial, dan budaya. Selanjutnya masalah ini meski sering diserahkan tanggung jawabnya pada pemerintah, tetapi tampaknya sudah saatnya pihak swasta mulai mempertimbangkan tanggung jawab sosialnya, selain juga mencari laba.
Perlu dipelajari desain dan mekanisme peremajaan permukiman kumuh tanpa menggusur. Ini dapat menarik pihak swasta untuk tak selalu mencari alternatif membuat permukiman baru di luar kota hanya karena harga tanahnya relatif murah.
Karena maraknya pembangunan permukiman di pinggiran, tanpa disertai pembangunan fasilitas yang memadai (shopping centre, rumah sakit, lembaga pendidikan, perkantoran, dan sebagainya) hanya akan menyebabkan arus kemacetan ke arah pusat kota.
Simak saja pembangunan fisik dan pusat belanja jor-joran di tengah kota Bandung, taman-taman juga hanya ada di pusat kota, fasilitas umum yang nyaman terpusat di kota, sementara di pinggiran seperti terbengkalai. Tak heran jika arus luar kota, pinggiran kota akan menyerbu kota dan menimbulkan kemacetan lalu lintas secara rutin.
Contoh Solusi Membangun Tanpa Gusur
Konsep ini secara lengkapnya dituangkan dalam jurnal penelitian Pemukiman, volume 15, nomor 1, tahun 1999, halaman 33. Dengan judul "Pengembangan Konsep Disain Perumahan dan Permukiman Sederhana di Pusat Kota, Studi Pemanfaatan Kawasan Pasar Kiaracondong" oleh Arief Sabaruddin.
Desain dan konsep ini pada dasarnya adalah untuk menghunikan kembali penduduk yang bermukim di atas lahan kumuh atau berstatus lahan tidak jelas, melalui konsep tanpa penggusuran. Lalu diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penghuni melalui kepemilikan rumah yang jelas, meningkatkan penghasilan penghuni , memberikan suatu lingkungan yang memenuhi syarat layak huni.
Diharapkan pula memberikan keuntungan-keuntungan bagi investor selama masa sewa kurang lebih 30 tahun dikurangi masa pengembalian modal kurang lebih 5 tahun, apabila tanah itu sifatnya sewa dari negara ataupun bentuk keuntungan lainnya disesuaikan dengan kasus yang akan ditangani. Untuk itu perlu dipikirkan bentuk konsep dari pemikiran di atas untuk dituangkan dalam perencanaan yang mencakup aspek teknis, aspek ekonomis, aspek hukum, aspek ilmu sosial politik dan budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Diharapkan konsep ini dapat memberikan kesempatan pekerjaan baru yang akan jauh lebih menarik dibandingkan dengan pembangunan kawasan perumahan di pinggiran kota karena pengembangan perumahan di kawasan pusat kota, berpotensi bagus, meski dengan tingkat risiko dan kesulitan lebih besar dibandingkan dengan perumahan di pinggiran kota.
Tinjauan Konseptual sebagai Solusi
Kiaracondong, adalah salah satu contoh karakter lingkungan kumuh yang tepat untuk dijadikan contoh. Karena kawasan ini sangat strategis, dekat stasiun kereta api, namun sangat kumuh, tumbuh liar (di atas tanah negara/ bukan miliknya) di pusat kota. Padahal di daerah ini memiliki nilai lahan sangat mahal. Penduduknya melakukan aktifitas mencari nafkah, bisa jadi kebanyakan sektor informal pada umumnya relatif dekat di kota. Bukan daerah pinggiran. Dalam jurnal Puslitbang Permukiman tersebut dibuat studi contoh tentang kawasan ini. Maka dibuatlah desain untuk mendukung produktifitas sumber daya manusia. Rencana tapaknya mampu menampung jumlah penghuni dengan tingkat kepadatan tinggi. Untuk memaksimalkan potensi tingginya nilai lahan, desain diatur dengan menonjolkan fungsi komersial (penyediaan sarana perkantoran, perdagangan dan aktifitas lainnya).
Nantinya, penghuni lama daerah ini setelah membiarkan tanahnya digarap pengembang, akan mendapat kompensasi berupa 2 rumah baru. Diharapkan, yang satu fungsinya untuk komersil, bisa saja disewakan kepada dunia usaha sebagai kantor dan toko. Sementara yang satunya untuk tempat tinggal sendiri. Jika mengamati gambar-gambar tapak dan desain dalam jurnal, ada bangunan-bangunan yang rapat saling membelakangi. Itulah rumah-rumah baru yang nantinya akan berdiri.
Dua rumah saling membelakangi, yang satu menghadap ke jalan protokol, berfungsi sebagai bangunan komersial (kantor, toko, disewakan dsbnya), yang menghadap ke dalam, jalan yang cenderung memiliki privacy permukiman, adalah untuk hunian. Kata gusur harus dihindari, bahkan saat proyek dilaksanakan, aktifitas penghuni diusahakan tidak terganggu. Solusinya, proyek harus dimulai dari lahan yang kosong. Apabila tidak ditemukan lahan kosong, harus dicari bangunan yang tidak dihuni langsung pemiliknya, seperti rumah kontrakan, rumah investasi, dan jika letaknya menyebar, kita dapat mengelompokkan rumah kontrakan dalam satu blok untuk dibongkar. Jadi penduduk masih tetap berada di lingkungannya. Bahkan, bisa saja proyek ini melibatkan langsung penduduk setempat yang memiliki profesi pedagang warung nasi, tukang gali, tukang batu, tukang kayu, satpam dan sebagainya. Ini malah akan menimbulkan rasa memiliki yang besar dari penduduk. Bahkan bisa meredam tumbuhnya provokator setempat, akan tumbuh inisiatif menjaga keamanan bersama.
Kerja sama berlangsung antara penduduk dengan pihak pengusaha swasta, penduduk sebagai pemilik modal awal dalam bentuk lahan, sementara swasta sebagai konsultan perencana, pembangun sekaligus konsultan pengelola yang akan membangun dan mengelola bersama-sama penduduk.
Dengan adanya pengembangan ini, penduduk awal wajib melakukan kompensasi, yakni dengan cara mengangsur ke bank, tergantung nilai rumah baru dikurangi nilai jual hunian awal mereka sebelum diremajakan kembali. Diharapkan, uang untuk mengangsur dan pelunasan ke bank diperoleh dari hasil kontrakan rumah barunya, dan diharapkan setelah angsuran lunas, rumah barunya tetap menghasilkan uang sewa sebagai pendapatan tambahan disamping pekerjaan lama yang telah lama ditekuni.
Investor juga meraup nilai ekonomis, berupa unit-unit bangunan ruko atau rukan serta sisa kelebihan unit hunian yang dapat disewakan kepada pihak lain. Hanya saja ini tergantung kepada kesepakatan pihak investor dengan pemerintah selaku pemegang kebijaksanaan atas tanah negara khususnya.
Bentuk hubungan yang memungkinkan pengelolaan ini adalah investor menyewa tanah selama 30 tahun, hak pengelolaan dikuasai oleh penyewa tanah, dalam hal ini investor.Harga sewa atau harga beli akan jauh lebih murah dibandingkan membeli tanah atas sertifikat. Untuk itu konsep ini lebih diprioritaskan atas tanah negara yang dihuni penduduk secara liar, dengan pembangunan spontan yang acak-acakan.
Dalam proyek ini, harus ada kejelasan dan kepastian hukum, mengenai status tanah pasca proyek, baik korelasinya dengan penghuni awal, maupun pihak investor, yang tentunya harus dijamin kekuatan hukum yang kuat.
Kemungkinan pola pengembangan bentuk status tanah adalah tanah tersebut tetap dalam penguasaan negara , penguasaannya dapat dilimpahkan kepada investor serta masyarakat penduduk awal selama masa sewa, sehingga Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan lebih memungkinkan.
Prosedur perijinan tetap harus dilalui melalui prosedur yang umum, dengan dimungkinkan adanya keistimewaan karena proyek ini intinya adalah merupakan proyek untuk mendukung program pemerintah dan proyek skala perkotaan penuh, yang hubungannya kuat sekali dengan rencana kota yang dibuat oleh pemda setempat.
Pendekatan sosial , politik dan budaya, merupakan faktor kunci dalam menentukan berhasil tidaknya konsep peremajaan perumahan perkotaan ini karena akan berkaitan erat dengan manusia sebagai objek perencanaan , baik itu penduduk setempat, maupun aparat pemerintah.
Perlu diperhatikan produk budaya setempat, apakah penghuni kawasan slum akan dapat menerima konsep kehidupan baru bagi mereka? Siapkah mereka menerima perubahan, dimana kebiasaan hidup di atas tanah/lahan secara langsung, harus diubah menjadi bangunan bersusun.
Terkadang perubahan ini sangat sulit diterima mereka , apalagi konsep perumahan susun sampai saat ini umumnya hanya sejauh perubahan fisik huniannya saja, sementara pola kehidupan , khususnya kemampuan ekonomi mereka tidak berubah, bahkan ada yang terbebani akibat harus menyewa rumah, sehingga lambat laun malah tersisihkan akibat kondisi yang lebih sulit bagi mereka, seperti kasus yang terjadi pada Perumahan Susun Tanah Abang (Jakarta) dan lainnya..
Diharapkan pula dari konsep ini, keuntungan makro negara adalah terbantunya program pemerintah dalam merealisasikan pengentasan masalah kemiskinan , kriminalitas, dan kesejahteraan sosial ekonomi di perumahan kumuh. Ke dua, adalah terbentuknya wilayah perkotaan yang lebih sehat lingkungan , tertata rapih, menunjang perekonomian rakyat kecil. Dari dunia usaha yang tumbuh sehat, akan mendatangkan pendapatan daerah dari sektor pajak.Untuk terwujudnya hal tersebut, sangat diperlukan kerja sama harmonis antara penduduk awal daerah kumuh, investor dan pihak pemerintah, mulai dari perencanaan sampai ke pengelolaan lingkungannya agar lebih terpelihara. Disarankan pengelolaan seperti konsep kondomonium lebih memungkinkan sehingga tanah/lingkungan dalam hal ini adalah milik negara yang harus dikelola bersama.
Pendekatan desain bangunan harus diciptakan sedemikian rupa, agar tetap memenuhi kebutuhan budaya lingkungan yang hampir sama dengan lingkungan semula, karakteristik khas masyarakatnya..., tetapi dengan standar lingkungan yang sehat , nyaman dan bersih. Maka perlu dipelajari konsep lingkungan awal sebagai patokan desain yang disempurnakan, disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga akan menghasilkan desain yang mengakomodasikan semua latar belakang tadi.
Misalkan jika proyek ini terealisasi, diharapkan muncul lingkungan sehat dan nyaman secara psikologis, dan ini akan mengurangi tingkat tekanan dan gangguan jiwa bahkan kenakalan remaja. Diharapkan pula muncul kesejahteraan sosial ekonomi, yang akan menekan angka kriminalitas. Juga dapat memunculkan sumber daya manusia yang dapat berpikir secara sehat pula.
Keseluruhan aspek di atas akan ditampung dalam bentuk perencanaan bangunan dan lingkungan, seperti penyediaan bangunan keamanan, penataan lingkungan yang menjamin terjaganya kebersihan, mudahnya pengawasan dari segala penjuru oleh setiap penghuni, serta penyediaan fasilitas umum lainnya yang sebelumnya mungkin masih belum ada atau memadai.
Demikian menurut jurnal permukiman (vol 15 no 1, hal 33)tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar