SUARA PEMBARUAN DAILY
[JAKARTA] Legalisasi Perjanjian Kerja (PK) antara TKI dan majikan di KBRI Kuwait, masih terjadi hambatan. Kondisi itu terjadi karena Atase Ketenagakerjaan di KBRI Kuwait tidak berfungsi.
Hal itu dikatakan Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (18/3).
Sementara itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri Teguh Wardoyo secara terpisah mengatakan, penunjukan Kuwait Union of Domestic Labor Office (KUDLO) Askhanani, dimaksudkan untuk mengatasi banyaknya TKI bermasalah di Kuwait, yakni rata-rata 10 orang perhari.
Yunus mengatakan, menurut catatan Himsataki, sudah pernah dilakukan di sejumlah negara tujuan penempatan TKI di Timur Tengah, tetapi gagal karena ditolak oleh Departemen Luar Negeri. Praktik menopoli pernah dicoba dilakukan di Arab Saudi dengan menyerahkan perlindungan TKI kepada pengusaha setempat, namun ditolak oleh Depertemen Luar Negeri RI.
Yunus mengatakan, Departemen Luar Negeri menilai, Badan Nasional Penempat- an dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) bukan departemen yang mempunyai kapasitas untuk mengeluarkan keputusan. Surat keputusan penunjukan di Arab Saudi, kata Yunus, juga dinilai telah melanggar Konvensi Wina tahun 61/63.
Praktik yang sama juga dicoba dilakukan di Syria, tetapi juga ditolak Deplu RI, karena adanya pembebanan biaya yang tidak diatur oleh undang-undang di Indonesia. Sekarang, praktik monopoli dicoba dilakukan di Kuwait dengan didukung seorang pejabat di KBRI Kuwait.
"Saya mendengar KUDLO membebankan US$ 275 untuk setiap legalisasi PK di KBRI," kata Yunus.
Yunus juga menyatakan, sebagai Ketua Himsataki pihaknya tidak mempunyai kepentingan dengan apa yang diatur oleh Pemerintah Kuwait terhadap warganya. "Tetapi yang kami minta, KBRI menolak praktik monopoli, di mana setiap PK harus melalui KUDLO," kata Yunus.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dan Permenakertrans RI No. 22/ MEN/ XII/ 2008, kata Yunus, tidak satu pasal pun yang mengatur legalisasi PK wajib melalui asosiasi negara setempat. "Itu hak mutlak KBRI, yang dalam hal ini diwakili oleh Atase Ketenagakerjaan di bawah Dep- nakertrans RI," kata Yunus.
Masalah perlindungan TKI/ WNI di Luar Negeri sudah diatur dalam UU Perlindungan WNI/BHI di bawah Departemen Luar Negeri.
Keputusan Dubes
Sementara itu, Teguh Wardoyo mengatakan, keputusan diambil oleh Dubes Kuwait untuk mengatasi jumlah TKI bermasalah yang terus meningkat. Rata-rata 10 TKI (perempuan) bermasalah datang ke KBRI.
"Agency dan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) tidak mau menyelesaikan masalah yang yang mereka tempatkan," kata Teguh.
KBRI sudah berulang kali memanggil PPTKIS dan agen TKA di Kuwait, tetapi tidak diindahkan. TKI bermasalah itu lalu menjadi urusan KBRI. Namun, daya tampung shelter yang dikelola KBRI tidak memadai.
Di sisi lain, Pemerintah Kuwait juga tidak ingin tenaga kerja asing yang direkrut warganya selalu lari dari majikannya, lalu kembali Kedubes negara masing-masing. Dubes Kuwait, kata Teguh, lalu mengambil keputusan untuk menunjuk KUDLO yang bisa memberi jaminan akan menyelesaikan kasus yang dihadapi TKI bermasalah.
Penunjukan itu mendapat reaksi keras dari agen TKA dan asosiasi perusahaan jasa TKA Kuwait. Mahkamah Agung Kuwait pada Februari 2009 memutuskan asosiasi KUDLO sebagai satu-satunya asosiasi yang menangani penempatan tenaga kerja di negara tersebut. [E-8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar