Senin, 23 Maret 2009 pukul 20:03:00
JAKARTA – Empat mantan pejabat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Kinabalu, Malaysia dituntut dua setengah hingga tiga tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Keempat terdakwa tersebt dituntut bersalah atas tindakan pungutan liar di Konjen Kinabalu. "Meminta majelis hakim menyatakan keempat terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata JPU, Suwarji, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23//3).
Keempat terdakwa tersebut adalah mantan Konjen RI Kinabalu Arifin Hamzah (dituntut 2,5 tahun), mantan Kepala Bidang Konsuler Ekonomi Penerangan Sosial dan Budaya Kinabalu Radite Edyatmo (tiga tahun), mantan Kepala sub Bidang Imigrasi Kinabalu, Nugraha (2,5 tahun) dan mantan Kepala sub Bidang Imigrasi Tawau, Kamso Simatupang (2,5 tahun). Menurut JPU, keempat terdakwa terbukti melakukan pungutan liar dengan cara mengenakan tarif ganda bagi setiap warga yang ingin mengurus dokumen di Konjen RI di Kinabalu itu.
Selain pidana penjara, JPU juga menambah tuntutan pidana denda sebesar Rp 150 juta kepada masing-masing terdakwa. Adapun kewajiban uang pengganti berbeda-beda. Untuk Arifin Hamzah uang pengganti yang harus dibayar sebesar 5 ribu ringgit Malaysia, Radite Ediyatmo wajib membayar uang pengganti 28 ribu ringgit Malaysia, Nugraha ajib membayar 314 ribu ringgit Malaysia, dan Kamso diwajibkan membayar uang pengganti 70 ribu ringgit Malaysia.
Sebelumnya, JPU mendakwa para terdakwa dengan dakwaan pertama pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang –undang (UU) No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan dakwaan kedua yakni pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999. Lantaran dakwaan disusun bentuk alternatif, JPU menilai pasal yang sesuai dengan fakta yang terbukti di persidangan adalah pasal 3 UU No 31 tahun 1999. "Terdakwa memenuhi kualitas sebagai orang yang memiliki jabatan atau kedudukan, sehingga lebiht tepat dikenakan pasal 3," kata JPU.
Salah satu unsur delik pidana yang terbukti dalam dakwaan, rinci JPU, adalah adanya selisih tarif yang tidak disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) semasa para terdakwa menjabat, dalam kurun waktu tahun 1999 sampai 2002 sebesar 2.243.075 ringgit Malaysia. Selain digunakan untuk operasional penanganan TKI bermasalah, uang selisih tersebut juga dibagikan kepada para local dan home staff termasuk untuk keempat terdakwa. "Sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi dan dapat diuktikan," kata Suwarji. dri/kpo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar