Media Indonesia
Senin, 23 Maret 2009
GELOMBANG pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis global sepertinya kian sulit dihadang. Setelah sejumlah perusahaan dalam negeri melakukan PHK terhadap karyawannya, kini giliran tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang terkena getahnya.
Paling tidak, untuk tahun ini saja, ada sekitar 100 ribu TKI yang bekerja di Malaysia telah di-PHK dan segera dipulangkan ke Tanah Air. Gelombang PHK TKI di Malaysia itu umumnya menimpa pekerja di sektor perkebunan dan jasa pembantu rumah tangga yang jumlahnya akan terus bertambah hingga mencapai 300 ribu orang.
Suatu jumlah yang tergolong besar, mencapai 20% dari 1,5 juta TKI di Malaysia. Sudah tentu persoalan besar pula untuk memulangkannya.
Itu sebabnya pejabat kedua negara secara intens mengadakan pertemuan untuk membahas proses pemulangan TKI itu. Bulan lalu, misalnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno telah menemui Menteri Dalam Negeri Malaysia Syed Hamid Albar di Kuala Lumpur.
Bahkan, dalam pertemuan konsultasi tahunan Indonesia-Malaysia, Selasa (17/3), persoalan PHK TKI itu menjadi topik utama pembicaraan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Badawi.
Apa yang dialami para pekerja Indonesia di Malaysia itu hanyalah sebagian potret TKI di luar negeri. Arus PHK serupa ternyata juga telah dialami sebagian TKI yang bekerja di Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Sayangnya, hingga kini belum ada data resmi berapa dari total TKI sebanyak 3-5 juta orang yang terkena PHK.
Untuk mengatasi gelombang PHK TKI itu, pemerintah memang telah melakukan sejumlah langkah antisipatif. Misalnya, berkoordinasi dengan duta besar tempat TKI yang di-PHK berada ataupun dengan kepala daerah lokasi TKI bertempat tinggal. Selain itu, para TKI yang terkena PHK diprioritaskan untuk mengikuti program transmigrasi.
Namun, langkah-langkah antisipatif seperti itu belumlah memadai. Seharusnya, para TKI yang terkena PHK dimasukkan ke program yang terkait dengan stimulus fiskal.
Alasannya sederhana. Ketika para TKI masih bekerja, mereka telah mampu memberikan sumbangan yang sangat besar kepada negara berupa devisa. Jumlahnya tidak sedikit, bisa mencapai puluhan triliun, bahkan mungkin ratusan triliun rupiah per tahun.
Kini, setelah para TKI terkena PHK, sudah saatnya negara punya kewajiban menyelamatkan mereka dengan sepenuh tenaga. Misalnya dengan membiayai ongkos kepulangan TKI sampai ke daerah asal, membebaskan TKI dari segala bentuk pungutan, dan menampung mereka dalam program pelatihan.
Gelombang PHK TKI itu jelas akan kian membebani negara yang juga tidak luput dari guncangan krisis global. Tingkat pengangguran bakal semakin tinggi dan pada gilirannya akan memperbanyak jumlah orang miskin.
Itu sebabnya, diperlukan langkah-langkah jitu, cepat, dan akurat untuk menangani para TKI yang terkena PHK. Mereka harus diselamatkan. Bila tidak, mereka bisa memunculkan persoalan-persoalan baru yang setiap saat siap meledak menjadi bencana sosial. Apalagi di saat bangsa ini sedang melaksanakan agenda lima tahunan, yakni pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Senin, 23 Maret 2009
GELOMBANG pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis global sepertinya kian sulit dihadang. Setelah sejumlah perusahaan dalam negeri melakukan PHK terhadap karyawannya, kini giliran tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang terkena getahnya.
Paling tidak, untuk tahun ini saja, ada sekitar 100 ribu TKI yang bekerja di Malaysia telah di-PHK dan segera dipulangkan ke Tanah Air. Gelombang PHK TKI di Malaysia itu umumnya menimpa pekerja di sektor perkebunan dan jasa pembantu rumah tangga yang jumlahnya akan terus bertambah hingga mencapai 300 ribu orang.
Suatu jumlah yang tergolong besar, mencapai 20% dari 1,5 juta TKI di Malaysia. Sudah tentu persoalan besar pula untuk memulangkannya.
Itu sebabnya pejabat kedua negara secara intens mengadakan pertemuan untuk membahas proses pemulangan TKI itu. Bulan lalu, misalnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno telah menemui Menteri Dalam Negeri Malaysia Syed Hamid Albar di Kuala Lumpur.
Bahkan, dalam pertemuan konsultasi tahunan Indonesia-Malaysia, Selasa (17/3), persoalan PHK TKI itu menjadi topik utama pembicaraan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Badawi.
Apa yang dialami para pekerja Indonesia di Malaysia itu hanyalah sebagian potret TKI di luar negeri. Arus PHK serupa ternyata juga telah dialami sebagian TKI yang bekerja di Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Sayangnya, hingga kini belum ada data resmi berapa dari total TKI sebanyak 3-5 juta orang yang terkena PHK.
Untuk mengatasi gelombang PHK TKI itu, pemerintah memang telah melakukan sejumlah langkah antisipatif. Misalnya, berkoordinasi dengan duta besar tempat TKI yang di-PHK berada ataupun dengan kepala daerah lokasi TKI bertempat tinggal. Selain itu, para TKI yang terkena PHK diprioritaskan untuk mengikuti program transmigrasi.
Namun, langkah-langkah antisipatif seperti itu belumlah memadai. Seharusnya, para TKI yang terkena PHK dimasukkan ke program yang terkait dengan stimulus fiskal.
Alasannya sederhana. Ketika para TKI masih bekerja, mereka telah mampu memberikan sumbangan yang sangat besar kepada negara berupa devisa. Jumlahnya tidak sedikit, bisa mencapai puluhan triliun, bahkan mungkin ratusan triliun rupiah per tahun.
Kini, setelah para TKI terkena PHK, sudah saatnya negara punya kewajiban menyelamatkan mereka dengan sepenuh tenaga. Misalnya dengan membiayai ongkos kepulangan TKI sampai ke daerah asal, membebaskan TKI dari segala bentuk pungutan, dan menampung mereka dalam program pelatihan.
Gelombang PHK TKI itu jelas akan kian membebani negara yang juga tidak luput dari guncangan krisis global. Tingkat pengangguran bakal semakin tinggi dan pada gilirannya akan memperbanyak jumlah orang miskin.
Itu sebabnya, diperlukan langkah-langkah jitu, cepat, dan akurat untuk menangani para TKI yang terkena PHK. Mereka harus diselamatkan. Bila tidak, mereka bisa memunculkan persoalan-persoalan baru yang setiap saat siap meledak menjadi bencana sosial. Apalagi di saat bangsa ini sedang melaksanakan agenda lima tahunan, yakni pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar