23 Maret 2009

Nasib Metromini dan Kopaja di Ujung Tanduk

Nasib Metromini dan Kopaja di Ujung Tanduk



JAKARTA – Niat Pemda Jakarta yang akan melarang metromini dan Kopaja melintas di jalan-jalan protokol Ibu Kota, kontan saja ditanggapi emosi para sopir angkutan umum jenis mikrobus itu. Niat itu hanya alasan klise yang intinya ingin menggusur metromini dan Kopaja, dan menaikkan pamor Bus TransJakarta.

Bagi Toto (47), sopir Kopaja P19 Jurusan Blok M-Ragunan, Pemda kurang memperhatikan kondisi lapangan penyebab kemacetan tersebut. Seharusnya Pemda memahami bahwa jumlah kendaraan pribadi yang makin banyaklah yang menjadi penyebab utama kemacetan, bukan justru menekan pihak angkutan massal yang telah sekian lama melayani warga Ibu Kota.
Pendapat lain yang patut didengar Pemda juga datang dari Anto (27), sopir Metromini 640 Jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang. Ia menyatakan, perilaku tidak tertib lalu lintas para sopir sebenarnya juga akibat dari pelanggaran para pengguna angkutan umum ini.
Penumpang memang tidak selalu patuh menunggu angkutan umum di halte yang telah tersedia. Begitu pula saat hendak tiba di tempat tujuan. Mereka ingin turun tepat di depan tujuannya. Akibatnya, para sopir harus rela ditilang polisi karena mengiyakan kemauan penumpang tersebut.
Surat tilang pun lalu dilayangkan. "Bisa nggak pemerintah menindak penumpang? Saya kan cari uang," ujar laki-laki asal Padang ini.
Kondisi ini dipersulit karena Pemda dan warga menganggap para sopir metromini dan Kopaja tidak becus membawa kendaraan. Citra negatif yang kian bertambah ini membuat lesu Maju (34), sopir Kopaja P20 Jurusan Lebak Bulus-Senen. Anggapan umum tersebut sebetulnya kembali lagi ke diri para sopir, karena tidak semuanya berkendara secara serabutan.
Kalaupun ada sopir yang seperti itu, beban untuk mengejar waktu dan setoranlah yang menjadi alasannya. Maju dan rekan-rekannya harus berkejaran dengan urusan kesejahteraan keluarganya. Kadang, ia hanya mampu membawa pulang uang Rp 50.000 setiap harinya.
Penurunan ongkos sebesar Rp 500 dianggapnya menjadi langkah pertama pemerintah menekan orang yang menggantungkan hidup pada pekerjaan menjadi sopir angkutan kota (angkot). Dulu, ayah dua anak ini bisa membawa uang Rp 150.000. Kini, ia dan kondekturnya kadang harus rela patungan untuk menomboki uang setoran sebesar Rp 350.000.

Solusi Terbaik
Pemda seharusnya dapat mengusulkan jalan terbaik agar sopir tidak menjadi pengangguran. Entah dengan membuka jalur alternatif bagi metromini dan Kopaja maupun dengan membuka kesempatan menjadi pengemudi Bus TransJakarta dengan jalan tes. Toto berharap masih ada kesempatan tersebut karena masih ada enam koridor lagi yang direncanakan akan diaktifkan kelak.
Sayangnya, berdasarkan pengalamannya sendiri pada 2004, ia harus membayar uang Rp 2 juta sebagai biaya pembekalan dan baju dinas pengemudi. Kesempatan itu pun dilepasnya. Jelas sekali penyebabnya, Toto tidak memiliki uang dalam jumlah tersebut.
Keinginan serupa juga muncul dalam diri Maju, tapi kembali ke masalah uang, niatnya pun pupus. Kalau Anto, berbeda. Ia juga sempat mencalonkan diri mengikuti tes, tetapi ditolak. Standar pendidikan yang tidak sampai pada minimal diploma III memusnahkan harapannya.
Bus TransJakarta ini diakui ketiganya memang sudah merajai angkutan massal di Jakarta. Banyak penumpang tersedot menggunakannya.
Jalur protokol seperti Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan HR Rasuna Said Kuningan telah menjadi sumber utama sewa (penumpang) bagi ketiganya. Tidak terbayangkan, nasib para sopir angkutan itu apabila usulan Pemda benar terwujud. Maju bahkan sempat mencetuskan untuk pulang ke kampung halamannya saja di Tapanuli Utara.
Dalam diri Toto dan Anton sebenarnya juga tersimpan rasa kecewa. Tidak ada bedanya mikrobus dengan TransJakarta. Keduanya sama-sama melayani masyarakat. Penambahan jumlah halte untuk angkot mungkin bisa menjadi solusi terbaik apabila benar tujuannya untuk mengatur ketertiban lalu lintas.
"Kami membayar pajak, punya surat berkendara lengkap, dan juga di bawah Organda (Organisasi Angkutan Darat-red). Apa bedanya dengan TransJakarta?" tantang Toto.
Benar atau tidak dugaan para perwakilan sopir di atas, sebenarnya harus dikembalikan lagi kepada pemerintah terkait apa yang menjadi dasar tujuannya. Sudut pandang sopir menyatakan justru kemudahan warga memiliki kendaraan pribadi menciptakan kepadatan lalu lintas pada jam-jam sibuk pada pagi dan sore hari. Relakah pemerintah membiarkan para sopir angkot menganggur?
Kalau sudah begitu, dengan sinis Toto menambahkan pendapatnya. "Salahkan kondisi kalau angka kriminalitas nanti meningkat." (mg1)


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/18/jab07.html

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar