02 Maret 2009
Daniel Lolo
Jakarta - Pedagang kaki lima (PKL) merupakan garda terdepan penopang ekonomi nasional. Saat krisis mendera, PKL tampil menggerakkan roda perekonomian.
Sayang, meski menyimpan potensi ekonomi demikian tinggi, keberadaan PKL cenderung dimarjinalkan dalam pengelolaan perdagangan.
"PKL masih dipandang sebelah mata, secara ekonomi dimarjinalkan, dan secara politik dilemahkan," ujar Daniel Lolo, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karena itu Daniel berpandangan, PKL harus mempunyai suara dan perwakilan dalam konteks parlemen. Pemegang gelar sarjana hukum ini bukanlah politisi yang tiba-tiba sekadar berbicara soal PKL untuk meraih dukungan menuju parlemen.
Daniel adalah bagian dari komunitas PKL di Jakarta. Sehari-hari, pria berusia 29 tahun ini, membuka usaha distribusi sebuah merek teh kemasan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Di situ dia juga menjabat sebagai Ketua Pedagang Area JS 09, dan kaki lima adalah dunianya.
Daniel menjelaskan salah satu contoh lemahnya posisi politik PKL di Jakarta adalah ketidakberdayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 Tahun 2002. Perda itu mewajibkan setiap mal di Ibu Kota mengalokasikan 20 persen lahannya untuk PKL.
"Nyatanya apa, Pemda tidak berdaya di hadapan pengusaha," tuturnya.
Menurut Daniel, potensi ekonomi PKL masih belum serius ditangani pembuat kebijakan sehingga tumbuh secara sporadis saja. Padahal, seharusnya mereka bisa diakomodasi menjadi bagian perkembangan kota. Di beberapa kota di luar negeri, PKL menjadi ornamen kota modern.
Melalui DPD, kata lajang kelahiran Jakarta ini, dia bisa lebih maksimal memperjuangkan PKL. Dia menganggap DPD lebih steril dari kepentingan partai. "Kalau mau teriak pun, DPD tidak perlu takut terhadap tekanan partai atau pihak mana pun," ujarnya.
Selama ini, orang menganggap posisi DPD lemah, tapi menurut Daniel, jika dijalani dengan kreatif dan inovatif, DPD akan efektif.(vidi vici)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar