29 Maret 2009

Sisi Lain TKI

Senin, 30 Maret 2009

Surya Online

MUNGKIN karena suatu hal Anda harus melakukan perjalanan ke pedesaan. Di sana Anda akan tetap menemui suasana yang tenang, ladang, sawah atau kebun, serta ternak yang sedang merumput atau digembalakan. Namun ketika menemui rumah-rumah penduduk, Anda akan merasa kecele karena banyak di antaranya, berada di luar perkiraan.


Banyak rumah yang desain dan konstruksinya bagus, bahkan beberapa mirip vila. Mayoritas rumah bagus itu merupakan hasil jerih payah pemiliknya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Sedikit sekali rumah bagus yang benar-benar didanai oleh rupiah.


Sedangkan dari sedikit rumah bagus yang asli "buatan Indonesia" adalah milik keluarga-keluarga yang sejak masa leluhurnya sudah merupakan keluarga berada. Dalam perkembangannya, rumah-rumah bagus produk TKI seolah berubah menjadi iklan yang mengatakan bahwa bekerja ke luar negeri akan lebih menjanjikan dibanding di dalam negeri.


Bagi mereka yang masih bertahan harus hidup dengan bergantung pada pekerjaan dan penghasilan seadanya serta membuang jauh pikiran untuk membangun sebuah rumah yang bagus.


Ketika para TKI mendapat cuti atau telah habis masa kontrak kerjanya, mereka melepas rindu dengan seluruh anggota keluarga dan kerabat. Membagi oleh-oleh atau membelanjakan uangnya untuk melengkapi isi rumah. Bagi yang cuti, tentu saja, harus segera kembali ke tempat kerja begitu masa cuti telah habis.


Hal berikutnya yang menarik untuk kita amati adalah mereka yang telah habis masa kontrak kerjanya. Sementara waktu, mereka bisa disebut keluarga yang berkecukupan. Sandang, pangan dan papan sudah dimiliki dengan layak. Mayoritas berpikir untuk membuka usaha berbekal modal yang diperoleh dari bekerja di luar negeri. Hal ini dilakukan karena mereka sudah tidak ingin lagi berpisah jauh dengan keluarga. Sangat manusiawi.


Mereka menjalankan usaha barunya dan kini mereka kembali menghadapi situasi dan kondisi nyata di Tanah Air. Contoh kasus, ada mantan TKI yang membuka toko kelontong. Namun mereka kembali menyadari bahwa keadaan di dalam negeri masih sulit sebagaimana keadaan sebelum mereka ke luar negeri.


Mereka merasakan bahwa daya beli pelanggannya sangat rendah. Otomatis keuntungan yang diperoleh tidak maksimal. Barang dagangan harus tetap dijual agar tidak mengalami kedaluarsa, rusak atau ketinggalan model, serta, tentu saja, uang tetap terus berputar.

Kuantitas barang dagangan akhirnya menyusut diikuti perolehan laba yang menurun pula. Sementara itu tekanan kebutuhan tetap atau bahkan bertambah. Akhirnya, tinggal rumah saja yang bentuknya bagus tetapi pemiliknya kembali bekerja ke luar negeri. Sampai kapan? Entah.


Oleh Sri Wahyudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar