29 Maret 2009

Demi Dua Ratus Ribu

Demi Dua Ratus Ribu

Timur Citra Sari

Penjual bakso yang lewat di depan rumah saya menjual semangkok bakso seharga Rp 5.000. Tidak istimewa rasanya, namun cukup mengenyangkan perut. Sambil meracik semangkok bakso, ia kerap menceritakan rutenya berjualan. Rumah- rumah yang tengah direnovasi, yang membutuhkan sekian banyak pekerja, menjadi salah satu target penjualannya. Tidak jarang, para pekerja tersebut berutang, namun ia tidak keberatan. Karena, katanya penuh pengertian, tidak setiap saat uang sejumlah Rp 5.000 bisa diberikan begitu saja kepada orang lain. Ada kebutuhan lain yang lebih mendesak, tuturnya bijaksana.

Jika bagi sebagian kita uang sebesar Rp 5.000 bisa berarti jatah makan siang, maka bagi sebagian yang lain dana yang dikeluarkan untuk makan siang bisa berjumlah Rp 500.000. Wow, betapa jauh bedanya! Namun, bukankah memang demikian berbedanya nilai uang bagi masing-masing dan setiap orang. Jumlah uang, yang menurut kita cukup besar, bisa jadi bagi yang lain nyaris tidak ada artinya. Demikian pula sebaliknya, jumlah uang, yang menurut kita tidak seberapa, bagi banyak sesama kita bisa bernilai luar biasa!

u

Kesenjangan cara pandang terhadap nilai uang ternyata tidak jarang menimbulkan masalah. Misalnya saja pada masa kampanye terbuka seperti sekarang ini bisa jadi kita bergumam tidak habis pikir, "Astaga, bagaimana bisa sekian banyak orang mau berpanas-panas di lapangan dan bermacet-macet di jalan raya hanya demi uang Rp 25.000 atau Rp 30.000 atau Rp 35.000? Betapa tidak sebanding jumlah uang tersebut dengan kemungkinan terluka karena kampanye berubah menjadi perkelahian atau jika terjadi kecelakaan akibat jatuh dari atap mobil. Kok, mereka mau, sih?

Tentu saja sekian banyak orang tersebut bukan tidak tahu bahwa mengikuti kampanye terbuka berarti mereka harus rela berpanas-panas di lapangan, misalnya. Mereka juga bukannya tidak mengerti risiko bahaya saat berkonvoi di jalan raya, sebagai contoh lain. Tapi, persoalannya, sebagian besar mereka merasa jumlah uang Rp 25.000 atau Rp 30.000 atau Rp 35.000 sungguh sangat lumayan banget (gaya bahasa hiperbola disajikan agar kita memahami betapa besar nilai uang sedemikian bagi sebagian saudara sebangsa kita)!

Demikian pula ketika kita melihat betapa banyak warga lanjut usia rela berdesak-desakan -bahkan hingga pingsan- demi mendapatkan jatah bantuan langsung tunai (BLT) yang berjumlah Rp 200.000. Dengan kondisi fisik yang jelas-jelas tidak lagi prima untuk berdiri selama berjam-jam, plus kemungkinan terjadi saling dorong, mestinya bukan soal kelelahan atau pingsan yang membuat kita terkejut dan prihatin, melainkan soal -sekali lagi- kok, mereka mau, sih? Namun, kita kembali pada kenyataan, bagi cukup banyak warga jumlah uang Rp 200.000 sungguh berarti! Sehingga, demi uang sejumlah tersebut, mereka memilih untuk bersikap "maju tak gentar" menghadapi, dorongan, sikutan, tendangan, hingga kemungkinan pingsan di tempat!

u

Tentu saja akan bijaksana jika para petarung dalam pemilu mempertimbangkan cara dan metode berkampanye, sehingga korban tidak perlu berjatuhan demi menunjukkan betapa suksesnya mereka mengumpulkan massa. Pula, mestinya akan menjadi tindakan terpuji jika cara penyampaian BLT secara berkala dievaluasi, sehingga niat untuk menolong meringankan beban saudara sebangsa tidak ternodai dengan jatuhnya korban.

Sebaliknya, bisa jadi sebagian dari kita tidak berada di posisi korban-korban di atas. Mungkin kita justru adalah penonton televisi atau pembaca berita tentang kejadian tersebut, yang menonton atau membaca sambil menyelonjorkan kaki di sofa seharga Rp 2.000.000, plus berdecak prihatin sambil menghirup harumnya kopi dan nikmatnya kue-kue yang harganya bervariasi antara Rp 25.000 atau Rp 30.000 atau juga Rp 35.000.

Tampaknya sudah waktunya bagi kita untuk meningkatkan ekspresi keprihatinan dengan menarik sejumlah uang dari rekening kita dan menyerahkannya kepada mereka. Demikian pula sudah waktunya bagi kita untuk berhenti mengorupsi uang negara, sehingga uang tersebut bisa dimanfaatkan bagi tujuan yang sebenarnya: menyejahterakan rakyat negeri ini!

Namun, yang lebih penting, daripada urusan memberikan sumbangan atau menyerahkan bantuan, adalah menjaga hati dan pikiran kita dari prasangka buruk terhadap saudara sebangsa kita yang sudah cukup susah hidupnya. Misalnya, tidak menganggap mereka sebagai orang yang tidak tahu diri dan hanya menjadi benalu. Atau juga, tidak menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak punya malu serta harga diri. Sebab, jika mereka ditanya, sesungguhnya mereka juga tidak ingin menjadi sekadar penerima bantuan, atau menjadi orang yang dibayar demi berteriak-teriak: "Hidup si anu!" atau "Dukung si itu!".

Dalam solidaritas dan pembelaan terhadap mereka yang kerap dilecehkan dan dihina, Tuhan Yesus menegaskan sikap-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40) Nah lho, apa kita masih berani melecehkan dan menghina sesama kita?

Soli Deo Gloria!


Last modified: 28/3/09


Tidak ada komentar:

Posting Komentar