29 Maret 2009

Kusir Delman Kini Gigit Jari

Kusir Delman Kini Gigit Jari



JAKARTA - Kusir delman di Ibu Kota mulai kehilangan penumpang. Maraknya angkutan kota, ditambah pengojek sepeda motor, membuat para kusir delman menghela napas panjang. Rupiah telah meninggalkan mereka!

Langkah tapak kaki Otoy, sang kuda jantan, terus membelah jalan raya di kawasan Palmerah menuju Senayan, Jakarta Pusat. Bentuknya memang berbeda dari berbagai kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di sana. Ia berwarna cokelat pudar, berjambul, serta mengeluarkan liur. Namun, Otoy begitu berarti bagi Azhari (30), sang kusir delman.
Keduanya telah bersama sejak tahun 1990. Pada pukul 05.00 WIB, bujang asli Betawi ini mengendarai Otoy dari rumahnya di Kebon Nanas menuju Pasar Palmerah. Di situlah tempatnya mangkal untuk mencari uang halal dari para penumpang yang hendak ataupun sudah selesai berbelanja.
Profesi kusir delman sebenarnya warisan orang tua, yaitu dari sang ayah yang telah menjalankan dan berhasil menghidupi keluarganya sejak 1975. Pekerjaan sebagai pegawai kantor pernah dicoba. Namun, rasa cintanya kepada kuda tidak bisa dipungkiri. Apalagi, sebagai warga asli Betawi, laki-laki berkopiah ini tidak rela bagian dari identitas kebudayaan Betawi tersebut punah.
Lain lagi cerita Basuki (39). Keterikatan dirinya dengan binatang herbivora tersebut juga tidak bisa dibohongi. Sejak usia 12 tahun, ia dilatih pamannya membawa delman berkeliling mengantarkan penumpang. Meski telah berpengalaman membawa angkutan umum mikrolet dan menjadi sopir pribadi, ayah empat anak ini lebih memilih mengendarai delman. Apalagi tidak ada lagi kata "setoran" yang mampir tiap hari kepadanya. Tentulah, lebih beruntung mengendarai Rojali, si kuda jantan, karena uang sebesar Rp 80.000-100.000 bisa dikantongi.
Dalam satu hari, Basuki bisa mengangkut penumpang sekitar 20 orang. Berbeda dengan Azhari yang mengaku bisa mengantarkan 15-30 orang ke tempat tujuan sampai selamat.
Dua orang kusir delman yang masih bertahan ini memang merasakan adanya penurunan pendapatan. Persaingan ketat dengan pengojek sepeda motor maupun bajaj yang dilewati tiap hari menjadi kemungkinan terbesar penyebabnya.
Azhari menambahkan, pemberlakukan larangan delman memasuki area Gelora Bung Karno sejak tahun 2008 turut menjadi faktor menurunnya pemasukan sehari-hari. Dia sangat bersemangat kala mendapatkan permintaan masyarakat untuk sekadar berkeliling di area tersebut. Uang sebesar Rp 200.000-250.000 bisa diraup olehnya.
Kini, tidak lagi ada hari ramai penumpang seperti dulu. Jika dulu setiap hari Minggu ada peningkatan pendapatan hingga dua kali lipat, sekarang sudah tidak ada beda antara hari biasa dan akhir pekan.
Biasanya, tiap pukul 12.00 WIB, Azhari dan Basuki sudah bersiap-siap pulang menuju rumah. Mereka tidak mau memaksakan sang kuda bekerja terlalu lelah. Ibarat manusia, Otoy dan Rojali, sang kuda jantan, membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat.

Rezeki Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) pada April kelak ternyata membawa berkah bagi Basuki. Rabu (18/3), seorang perwakilan dari salah satu partai politik menghampirinya untuk menawarkan penggunaan delman saat kampanye. Sayang, jumlah uang sewa sebesar Rp 150.000 belum sebanding.
"Masa disuruh keliling kampanye dari pukul 07.00-12.00 WIB bayarannya segitu?" ujar laki-laki asal Semarang, Jawa Tengah, ini. Negosiasi harga menjadi Rp 200.000 pun terlaksana, tetapi belum ada kata kesepakatan antarkedua pihak.
Basuki juga pernah didatangi tawaran serupa pada Pemilu 2004 lalu. Ia beserta 20 teman kusir delman lainnya memperoleh Rp 180.000. Karena itu, seharusnya harga sewa di 2009 ini dinaikkan. Harga tersebut seimbang dengan harga-harga kebutuhan hidup yang semakin mahal.
Kedua kusir delman ini menyatakan tidak merasa malu dan sangat menikmati hari bersama kuda. Basuki merasa senang saat bisa mengendarai Rojali di tanah lapang kawasan rumahnya, Joglo. Biaya perawatan tiap hari yang harus dikeluarkan untuk makanan kuda sebesar Rp 22.000 tidak menjadi soal. Bau kotoran yang sering dihirup, tidak dihiraukan.
Tempat tujuan pengguna delman, seperti kawasan Senayan, Bendungan Hilir, bahkan Tanah Abang, disanggupi Otoy dan Rojali. Tali kekang yang melingkar di leher aman berada dalam genggaman sang kusir. Tarik-ulur tali menjadi pertanda kesigapan maju-mundur kuda jantan ini.
Dono (57), pengguna setia delman Azhari sejak 1982 dari Pasar Palmerah menuju Kompleks Perumahan PLN Senayan menyatakan, tidak pernah tertarik menggunakan pengojek sepeda motor ataupun bajaj. Alasannya, sederhana. "Naik delman bisa leluasa, santai, dan tenang," ujar pedagang gado-gado ini. (mg1)


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/19/jab06.html

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar