31 Maret 2009

Ketahanan Pangan Berbasis Padi Hibrida

SUARA PEMBARUAN DAILY

Ketahanan Pangan Berbasis Padi Hibrida

Oleh: MT Felix Sitorus

Padi hibrida adalah basis ketahanan pangan nasional yang kokoh dan berkelanjutan. Itu sudah terbukti di Tiongkok. Sejak 1970, separuh lebih persawahan di Tiongkok ditanami dengan padi hibrida. Produksi padi negara itu pun melonjak sampai 66 persen.

Sekarang, Tiongkok menuai hasil ganda, yakni kedaulatan benih, kedaulatan pangan, ketahanan pangan, ekspor beras, dan pusat penelitian padi hibrida dunia. Pejabat kita, mungkin berujar sinis: apa hebatnya Tiongkok. Tanpa padi hibrida, Indonesia juga bisa berswasembada beras pada 1984 dan tahun ini. Bahkan, tahun ini beras akan diekspor.

Kalau mau objektif, jelas Tiongkok lebih hebat dari Indonesia dalam soal pencapaian ketahanan pangan berbasis beras. Lantas apa kehebatannya? Mengapa Indonesia perlu belajar dari negara itu dan bagaimana caranya?

Tiongkok dan Indonesia berangkat dari tahun yang sama (1970) ketika mulai membangun ketahanan pangan. Juga sama-sama menetapkan padi/beras sebagai basis ketahanan pangan. Bedanya, di sini letak kehebatannya, pada 1970 itu, Tiongkok sudah menetapkan padi hibrida sebagai basis ketahanan pangan pada masa depan, bukan padi inbrida. Para ahli pertanian Tiongkok sangat sadar akan batas kemampuan tanah dan pupuk memacu produktivitas. Keterbatasan itu hanya dapat diatasi dengan inovasi benih padi unggul hibrida. Untuk kondisi asupan yang sama, produktivitas padi hibrida bisa dua kali lipat dari padi inbrida varietas unggul produksi tinggi (VUPT). Karena itu, sejak 1970, atau sembilan tahun sebelum IRRI memulainya (1979), Tiongkok melakukan penelitian intensif untuk pengembangan padi hibrida.

Indonesia mengambil jalan terobosan intensifikasi "revolusi hijau", dengan mengandalkan benih padi inbrida VUPT keluaran IRRI plus pupuk kimia. Lembaga penelitian, waktu itu, memusatkan riset pada pengembangan padi inbrida VUPT. Hasilnya, pada 1984 atau 14 tahun kemudian, Indonesia mencapai swasembada beras. Status negara berbalik dari pengimpor menjadi pengekspor beras. Tapi, status itu gagal dipertahankan dan Indonesia kembali mengimpor beras. Baru pada 2009 atau 25 tahun kemudian, status swasembada beras diraih kembali. Tapi, sekali lagi, itu dicapai lewat terobosan hiper intensifikasi. Antara lain dengan mendongkrak indeks tanam melalui pertanian luar-musim (off-season).

Tiongkok berhasil memantapkan ketahanan pangan memasuki milenium ketiga. Tahun 2004 Tiongkok sudah memimpin dunia dalam penelitian dan pertanian padi hibrida. Sekitar 50 persen pertanian padi negara itu mengusahakan hibrida. Kunci keberhasilan Tiongkok adalah keyakinan yang teguh pada keunggulan padi hibrida.

Selanjutnya, di atas basis kedaulatan itu, secara bertahap Tiongkok mentransformasi pertanian padi dari budaya inbrida ke budaya hibrida, dari pertanian tradisi ke pertanian profesional. Itu sebabnya, ketika separuh dari petani Tiongkok sudah beralih ke budaya padi hibrida, ketahanan pangan negara itu tak tergoyahkan lagi.

Hal terakhir inilah yang tidak dimiliki Indonesia. Pertanian padi Indonesia adalah pertanian tradisi berbudaya inbrida. Produktivitas usaha tani hanya meningkat sejauh tersedia kawalan intensif berupa program terobosan dari pemerintah. Tanpa kawalan pemerintah, produktivitas akan merosot dan status swasembada pasti akan pupus.

Saat ini, Indonesia belum memiliki kedaulatan atas benih padi hibrida. Tidak mungkin membangun ketahanan pangan berdasarkan benih impor atau lisensi asing. Pada titik inilah Indonesia perlu belajar dari Tiongkok.

Industri Benih

Belajar dari Tiongkok, hal utama yang harus ditegakkan pemerintah dan petani Indonesia adalah kedaulatan atas benih hibrida. Ini harus dimulai dari riset intensif. Indonesia, melalui Balai Penelitian Padi, baru memulai riset hibrida 1984, terlambat 14 tahun dari Tiongkok. Dan hasilnya baru diperoleh 17 tahun kemudian (2001), berupa varietas padi hibrida Rokan dan Maro. Ini terlalu lamban, karena pada saat bersamaan hampir separuh areal sawah di Tiongkok sudah ditanami padi hibrida.

Riset dan pengembangan padi hibrida kiranya dapat dipercepat dengan mengintegrasikan peran industri benih padi nasional. Yang paling relevan terlibat adalah PT Sang Hyang Seri, BUMN perbenihan padi yang telah melayani petani sejak 1970-an. Dengan cara itu, birokrasi riset dipangkas, sehingga proses inovasi padi hibrida dapat dipercepat, dan jarak petani dengan hasil riset menjadi lebih dekat.

Belajar dari Tiongkok, proses transformasi harus bertahap. Dari 11,7 juta ha areal sawah nasional 2, 5 juta ha adalah areal terbelakang (padi unggul lokal produksi rendah); 2, 0 juta ha areal berkembang (padi unggul lama produksi sedang); 7,2 juta ha areal maju (padi VUPT). Dari luas terakhir ini 4,2 juta ha menggunakan benih turunan padi VUPT, dan hanya 3 juta ha menggunakan benih padi VUPT.

Untuk tahap pertama, pertanian padi VUPT itulah (3 juta ha) yang siap ditransformasikan menjadi pertanian padi hibrida. Karena tiap tingkatan pertanian itu sebenarnya terdiri dari dua sub tingkatan, dan proses transformasi per tahap diperkirakan lima tahun, maka keseluruhan proses transformasi diperkirakan baru selesai setelah 30 tahun.

Lama? Memang, tapi pikirkan apa yang telah dicapai Tiongkok setelah 30 tahun dan apa yang telah dicapai Indonesia untuk masa yang sama? Berhitung 30 tahun ke depan, pertanian padi inbrida dipastikan tidak akan mampu memberi makan 270-an juta penduduk Indonesia. Jadi, mengapa tidak mengikuti "jalan hibrida" Tiongkok?

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekologi Manusia, IPB


Last modified: 31/3/09

http://www.suarapembaruan.com/indeks/News/2009/03/31/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar