Kompas, Selasa, 2 Maret 2010
Mata Hery (3) menatap kosong. Tulang-tulang tubuhnya menonjol dibalut kulit mengeriput. Jarum infus yang tertancap di lengan kanan diganjal papan kecil berbalut perban.
Pada Kamis (25/2) malam, genap tiga hari Hery dirawat di Ruang Anak Kelas III Catelya, RSU Undata, Palu, Sulawesi Tengah. Sudah delapan botol cairan infus dialirkan ke tubuhnya. Hery dirawat karena gizi buruk. Berat badannya hanya 7,8 kg dari seharusnya minimal 12 kg.
Sebelumnya, anak keempat pasangan Bahdini (60) dan Jumiati (40) ini hanya berobat jalan di Puskesmas Talise, Palu. Ia dirawat di RSU Undata berkat upaya Jaringan Rakyat Kecil (Jarak) Sulawesi Tengah, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial.
"Kami menemukan tidak sengaja. Awalnya, kami mendampingi sepupunya yang juga menderita gizi buruk. Saat itu kami diberi tahu kondisi Hery. Karena kondisinya lebih parah, kami langsung membawanya ke Undata," kata Hasnah, anggota Jarak, yang mendampingi Hery.
Penghasilan Bahdini sebagai buruh bangunan hanya Rp 30.000 per hari. Dalam sebulan, paling banyak dua minggu ada pekerjaan. Artinya, penghasilan hanya Rp 420.000 per bulan.
"Jangankan berobat, untuk makan sehari-hari pun tidak cukup," kata Jumiati, yang sedang mengandung delapan bulan dan akan menjadi anak kelima.
Rumah Bahdini dan Jumiati berada di Kelurahan Tondo, Kecamatan Palu Timur, tak jauh dari Kampus Universitas Tadulako. Rumah bedeng berukuran 4 x 4 meter itu berdinding papan dan berlantai semen yang sebagian besar mengelupas.
Di rumah itu hanya ada sebuah dipan dengan kasur lusuh tanpa seprai. Tidak ada kursi dan peralatan elektronik. Aliran listrik dan air bersih didapat dari tetangga dengan membayar masing-masing Rp 15.000 per bulan.
Hingga November 2009, Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah mencatat sedikitnya 553 kasus gizi buruk. Urutan teratas ada di Kabupaten Sigi yang 182 kasus, lalu Donggala 46 kasus. Selebihnya menyebar di kabupaten lain, seperti Banggai, Banggai Kepulauan, Buol, termasuk Kota Palu. Angka itu belum termasuk yang tidak terlapor atau ditemukan. Berdasarkan data Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, prevalensi gizi buruk anak di bawah lima tahun (balita) di Sulteng 8,9 persen. Artinya, setiap 100 anak balita di Sulteng, 8-9 anak kena gizi buruk.
"Setelah menemukan angka gizi buruk yang cukup besar, kami melakukan dua upaya strategis, yakni melakukan upaya pencegahan dengan sosialisasi, penyuluhan kesehatan, dan pemberian pelayanan makanan bergizi kepada warga tak mampu melalui posyandu. Adapun penderita yang kondisinya parah, kami merujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Kami berharap, sedikit demi sedikit masalah gizi buruk bisa tertangani, minimal tidak bertambah banyak," kata Kepala Dinas Kesehatan Sigi dr Sofran Mailili.
Gizi buruk tak lepas dari kondisi kemiskinan di Sulteng. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulteng, dari jumlah penduduk 2.438.373 jiwa tahun 2008, sebanyak 524.700 jiwa (20,75 persen) adalah penduduk miskin. Hingga Maret 2009, dari 2.480.264 jiwa, terdapat 18,98 persen penduduk miskin.
Alokasi anggaran untuk kesehatan masyarakat miskin pada 2009 sangat kecil dibandingkan dengan anggaran perjalanan dinas pegawai negeri. Tahun 2009, APBD Sulteng hanya menganggarkan Rp 3,2 miliar untuk program upaya kesehatan masyarakat. Untuk perbaikan gizi masyarakat, anggarannya hanya Rp 1 miliar. Program peningkatan kesehatan ibu dan anak dan kesehatan keluarga miskin masing-masing Rp 500 juta dan 1,7 miliar.
Sebaliknya, alokasi anggaran untuk perjalanan dinas pejabat sangat besar. Tahun 2009, biaya perjalanan dinas pejabat mencapai Rp 111 miliar. Anggaran itu belum terhitung biaya perjalanan dinas dalam Perubahan APBD 2009. Dari total anggaran P-ABBD Rp 32 miliar, Rp 10,53 miliar untuk perjalanan dinas. Anggaran untuk kantor pelayanan perizinan terpadu Rp 500 juta untuk belanja langsung. Dari anggaran itu, Rp 487,4 juta dialokasikan untuk perjalanan dinas. Dari Rp 600 juta anggaran untuk Badan Narkotika Provinsi, sebesar Rp 444 juta dianggarkan untuk perjalanan dinas. Komisi Penyiaran Independen Daerah mendapat biaya perjalanan Rp 341 juta dari anggaran Rp 500 juta.
Namun, hasil perjalanan dinas itu tidak tampak. Sulteng tetap masuk kategori daerah tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
(Reny Sri Ayu Taslim)