Jum'at, 26 Desember 2008
JAKARTA (LampostOnline): Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB) menilai perhatian pemerintah terhadap tenaga Kerja wanita (TKW) masih minim. Banyak TKW yang tersandung masalah hukum, namun tidak mendapat perhatian pemerintah.
"Atas nasib para TKW kok pemerintah tidak mau melakukan pembelaan. Sutiyoso yang kamarnya digeledah polisi Australia lebih menyentuh dibandingkan nasib para TKW yang dianiaya," kata Ketua Umum PPKB Badriyah Fayumi dalam acara Forum Catatan Akhir Tahun dan Refleksi Hari Ibu, di kantor DPP PKB Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (26-12).
Badriyah mencontohkan nasib dua orang TKW asal Indonesia, Sumiyati dan Tarwiyah yang tewas di negeri orang. Kasus ini pun diakhiri dengan kompensasi damai yang difasilitasi Departemen Luar Negeri.
"Berarti negara telah menjual warga negaranya sendiri dan yang terbanyak adalah perempuan," kecamnya.
Selain masalah TKW, PPKB juga menyoroti masalah HAM, Keagaman dan ekomonomi. PPKB berharap agar pemutusan hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan yang terkena dampak krisis global dapat diminimalkan. DTC/L-1
26 Desember 2008
15 Desember 2008
TKW Asal Lahat Sumsel Meninggal di Singapura
Senin, 15 Desember 2008
PALEMBANG (LampostOnline): Devi Apriani (24), warga Talang Pisang, Kecamatan Jarai, Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel), tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura, meninggal dunia, diduga akibat sakit jantung.
Informasi yang diperoleh di Palembang, Senin, menyebutkan, Devi meninggal pada 9 Desember 2008 lalu.
Namun akibat rumitnya pengurusan, jenazahnya terlambat satu minggu, atau baru sampai ke kampung halamannya Minggu (14/12) lalu.
Setelah sempat menginap satu malam, akhirnya Devi dimakamkan di kampung halamannya Talang Pisang, Jarai, Lahat, Senin (15-12) sekitar pukul 09.00 WIB.
Menurut salah satu kerabat korban, Norman, memang Devi berangkat ke Singapura menjadi TKW sejak
dua bulan lalu melalui penyalur Duski.
Tapi sampai saat ini belum ada keterangan yang pasti tetang penyebab meninggal Devi dari penyalur TKW tersebut.
"Kami sudah rela dengan kepergiannya dan kami tidak melihat ada kejanggalan yang terdapat pada jasadnya. Namun kami kecewa mengapa proses pengiriman jenazahnya terlambat hingga memakan waktu satu minggu, padahal jarak Singapura dengan Indonesia bisa ditempuh dalam satu hari dengan menggunakan pesawat udara," ungkap dia pula.
Menurut dia, pihak kelurga terpukul dan merasa sedih dengan kepergian Devi secara tiba-tiba pada saat sedang menjadi TKW di Singapura itu.
"Kami yakin Devi meninggal akibat sakit jantung atau dengan bahasa dusun angin duduk, karena kami melihat kondisi badan Devi baik-baik saja," ujar Norman sambil menahan rasa sedihnya.
Sekcam Jarai, Nasution mengaku, pihaknya baru mengetahui kalau Devi sudah meninggal setelah jenazahnya sampai ke Jarai dari Palembang yang diantar menggunakan mobil ambulans.
"Kami tidak bisa berkomentar banyak tentang kematian Devi, selain belum ada penjelasan dari pihak terkait yang menjadi penyalur Devi, dan pihak keluarga juga sudah merelakan kepergiannya," ujar dia pula.
Jenazah Devi setelah tiba di kampung halamannya Talang Pisang, Minggu (14/12) sore sekitar pukul 15.00 WIB, dan baru dikebumikan pada Senin ini sekitar pukul 09.00 WIB.
"Kami minta keluarga yang ditinggal bersabar atas musibah ini, dan dengan kejadian ini agar dapat diambil hikmahnya," ujar Nasution pula. (ANT/R-2)
PALEMBANG (LampostOnline): Devi Apriani (24), warga Talang Pisang, Kecamatan Jarai, Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel), tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura, meninggal dunia, diduga akibat sakit jantung.
Informasi yang diperoleh di Palembang, Senin, menyebutkan, Devi meninggal pada 9 Desember 2008 lalu.
Namun akibat rumitnya pengurusan, jenazahnya terlambat satu minggu, atau baru sampai ke kampung halamannya Minggu (14/12) lalu.
Setelah sempat menginap satu malam, akhirnya Devi dimakamkan di kampung halamannya Talang Pisang, Jarai, Lahat, Senin (15-12) sekitar pukul 09.00 WIB.
Menurut salah satu kerabat korban, Norman, memang Devi berangkat ke Singapura menjadi TKW sejak
dua bulan lalu melalui penyalur Duski.
Tapi sampai saat ini belum ada keterangan yang pasti tetang penyebab meninggal Devi dari penyalur TKW tersebut.
"Kami sudah rela dengan kepergiannya dan kami tidak melihat ada kejanggalan yang terdapat pada jasadnya. Namun kami kecewa mengapa proses pengiriman jenazahnya terlambat hingga memakan waktu satu minggu, padahal jarak Singapura dengan Indonesia bisa ditempuh dalam satu hari dengan menggunakan pesawat udara," ungkap dia pula.
Menurut dia, pihak kelurga terpukul dan merasa sedih dengan kepergian Devi secara tiba-tiba pada saat sedang menjadi TKW di Singapura itu.
"Kami yakin Devi meninggal akibat sakit jantung atau dengan bahasa dusun angin duduk, karena kami melihat kondisi badan Devi baik-baik saja," ujar Norman sambil menahan rasa sedihnya.
Sekcam Jarai, Nasution mengaku, pihaknya baru mengetahui kalau Devi sudah meninggal setelah jenazahnya sampai ke Jarai dari Palembang yang diantar menggunakan mobil ambulans.
"Kami tidak bisa berkomentar banyak tentang kematian Devi, selain belum ada penjelasan dari pihak terkait yang menjadi penyalur Devi, dan pihak keluarga juga sudah merelakan kepergiannya," ujar dia pula.
Jenazah Devi setelah tiba di kampung halamannya Talang Pisang, Minggu (14/12) sore sekitar pukul 15.00 WIB, dan baru dikebumikan pada Senin ini sekitar pukul 09.00 WIB.
"Kami minta keluarga yang ditinggal bersabar atas musibah ini, dan dengan kejadian ini agar dapat diambil hikmahnya," ujar Nasution pula. (ANT/R-2)
Label:
buruh migran,
Buruh migran meninggal
24 September 2008
TKW Indonesia Dibunuh di Bahrain
Rabu, 24 September 2008
Sitra (LampostOnline): Nasib pilu kembali menerpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Seorang pembantu rumah tangga (PRT) tewas secara mengenaskan di Bahrain. Wanita berumur 24 tahun itu dibunuh oleh seorang pria Bahrain.
Korban diidentifikasi bernama Ami Tursiya Takiyat. Demikian diungkapkan sumber-sumber seperti dilansir media Gulf Daily News, Rabu (24-9).
Jasad Ami ditemukan di semak-semak di wilayah Sitra pada Senin, 22 September lalu. Tersangka pembunuh berhasil ditangkap polisi dalam 24 jam setelah jasad Ami ditemukan.
Tersangka pun mengakui telah membunuh korban dengan menusuk lehernya dengan pisau. Pria berusia 38 tahun itu mengklaim bahwa korban, yang merupakan pembantu saudara laki-lakinya, telah menghina dirinya. Dia pula yang menuntun polisi ke lokasi tempat dirinya membuang tubuh korban.
Korban diyakini baru bekerja di Bahrain selama 7 bulan. Kepolisian Bahrain sedang menyelidiki kasus ini. Tersangka akan segera diadili atas tuduhan pembunuhan. DTC/L-1
Sitra (LampostOnline): Nasib pilu kembali menerpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Seorang pembantu rumah tangga (PRT) tewas secara mengenaskan di Bahrain. Wanita berumur 24 tahun itu dibunuh oleh seorang pria Bahrain.
Korban diidentifikasi bernama Ami Tursiya Takiyat. Demikian diungkapkan sumber-sumber seperti dilansir media Gulf Daily News, Rabu (24-9).
Jasad Ami ditemukan di semak-semak di wilayah Sitra pada Senin, 22 September lalu. Tersangka pembunuh berhasil ditangkap polisi dalam 24 jam setelah jasad Ami ditemukan.
Tersangka pun mengakui telah membunuh korban dengan menusuk lehernya dengan pisau. Pria berusia 38 tahun itu mengklaim bahwa korban, yang merupakan pembantu saudara laki-lakinya, telah menghina dirinya. Dia pula yang menuntun polisi ke lokasi tempat dirinya membuang tubuh korban.
Korban diyakini baru bekerja di Bahrain selama 7 bulan. Kepolisian Bahrain sedang menyelidiki kasus ini. Tersangka akan segera diadili atas tuduhan pembunuhan. DTC/L-1
Label:
buruh migran,
Buruh migran meninggal
16 September 2008
Presiden Terima Pengurus APJATI
Sekneg.go.id/, Presidenri.go.id
Selasa, 16 September 2008
Jakarta - Hari Senin (15/9) pagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), di Istana Negara. Menurut Ketua Umum APJATI, Nurfaizi, pertemuan dengan Presiden SBY kali ini adalah untuk melaporkan hasil musyawarah nasional yang telah dilaksanakan tanggal 12-13 Agustus lalu.
“Tadi kami menyampaikan beberapa permasalahan serta saran-saran yang diajukan para anggota APJATI kepada pemerintah. Kita sepakat untuk melakukan suatu kerjasama untuk meningkatkan internal kita. APJATI juga harus interospeksi untuk memperbaiki agar kedepannya makin bagus,” kata Nurfaizi. “APJATI akan bekerjasama dengan pemerintah sebagai partner untuk bisa sebanyak-banyaknya menempatkan tenaga kerja yang berkualitas ke luar negeri. Untuk itu pemerintah akan membantu kita meningkatkan kualitas dari balai latihan kerja di daerah-daerah,” tambahnya.
Saat ini sudah ada lima juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut data Bank Indonesia, selama tahun 2003 hingga 2008, TKI ini telah memasukkan devisa sebesar Rp 167 trilyun untuk Indonesia. Ini adalah masukan devisa nomor dua setelah migas. Jumlah tersebut tentunya belum termasuk yang dibawa sendiri oleh masing-masing TKI ke daerahnya masing-masing.
”Kalau kita lihat, untuk tenaga kerja kita yang berasal dari pedesaan, yang termasuk dalam golongan informal, mereka sering mengirimkan uangnya langsung ke kampung-kampung mereka, seperti ketika menjelang lebaran. Uangnya digunakan untuk memperbaiki rumahnya atau membeli sawah. Secara tidak langsung ini menggerakkan roda ekonomi di kampung-kampung karena devisa yang langsung diserap pedesaan,” Nurfaizi menerangkan.
”Presiden SBY berpesan agar kami dapat meningkatkan kualitas serta senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah untuk sebanyak mungkin menciptakan lapangan pekerjaan di luar negeri. Kita sudah berpengalaman selama 23 tahun. Sekarang ini sudah mengirimkan TKI ke Asia Pasific, Timur Tengah seperti Kuwait, Syria, Libia dan Saudi Arabia. Saat ini banyak sekali tawaran-tawaran dari luar negeri, baik formal maupun informal. Jepang minta banyak tenaga kerja Indonesia sebagai perawat. Australia, Canada dan Amerika juga memberi peluang yang cukup besar. Hanya saja SDM kita masih belum mencukupi. Kadang-kadang kita masih terbentur dengan masalah bahasa,” jelas Nurfaizi.
Saat menerima Dewan Pengurus Pusat APJATI, Presiden SBY didampingi antara lain, Menko Polhukkam Widodo A.S., Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani, Menakertrans Erman Suparno, Mensesneg Hatta Rajasa dan Seskab Sudi Silalahi.
Sumber:
Selasa, 16 September 2008
Jakarta - Hari Senin (15/9) pagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), di Istana Negara. Menurut Ketua Umum APJATI, Nurfaizi, pertemuan dengan Presiden SBY kali ini adalah untuk melaporkan hasil musyawarah nasional yang telah dilaksanakan tanggal 12-13 Agustus lalu.
“Tadi kami menyampaikan beberapa permasalahan serta saran-saran yang diajukan para anggota APJATI kepada pemerintah. Kita sepakat untuk melakukan suatu kerjasama untuk meningkatkan internal kita. APJATI juga harus interospeksi untuk memperbaiki agar kedepannya makin bagus,” kata Nurfaizi. “APJATI akan bekerjasama dengan pemerintah sebagai partner untuk bisa sebanyak-banyaknya menempatkan tenaga kerja yang berkualitas ke luar negeri. Untuk itu pemerintah akan membantu kita meningkatkan kualitas dari balai latihan kerja di daerah-daerah,” tambahnya.
Saat ini sudah ada lima juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menurut data Bank Indonesia, selama tahun 2003 hingga 2008, TKI ini telah memasukkan devisa sebesar Rp 167 trilyun untuk Indonesia. Ini adalah masukan devisa nomor dua setelah migas. Jumlah tersebut tentunya belum termasuk yang dibawa sendiri oleh masing-masing TKI ke daerahnya masing-masing.
”Kalau kita lihat, untuk tenaga kerja kita yang berasal dari pedesaan, yang termasuk dalam golongan informal, mereka sering mengirimkan uangnya langsung ke kampung-kampung mereka, seperti ketika menjelang lebaran. Uangnya digunakan untuk memperbaiki rumahnya atau membeli sawah. Secara tidak langsung ini menggerakkan roda ekonomi di kampung-kampung karena devisa yang langsung diserap pedesaan,” Nurfaizi menerangkan.
”Presiden SBY berpesan agar kami dapat meningkatkan kualitas serta senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah untuk sebanyak mungkin menciptakan lapangan pekerjaan di luar negeri. Kita sudah berpengalaman selama 23 tahun. Sekarang ini sudah mengirimkan TKI ke Asia Pasific, Timur Tengah seperti Kuwait, Syria, Libia dan Saudi Arabia. Saat ini banyak sekali tawaran-tawaran dari luar negeri, baik formal maupun informal. Jepang minta banyak tenaga kerja Indonesia sebagai perawat. Australia, Canada dan Amerika juga memberi peluang yang cukup besar. Hanya saja SDM kita masih belum mencukupi. Kadang-kadang kita masih terbentur dengan masalah bahasa,” jelas Nurfaizi.
Saat menerima Dewan Pengurus Pusat APJATI, Presiden SBY didampingi antara lain, Menko Polhukkam Widodo A.S., Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani, Menakertrans Erman Suparno, Mensesneg Hatta Rajasa dan Seskab Sudi Silalahi.
Sumber:
25 Juni 2008
Malnutrition prevalent in resource-rich province
Panca Nugraha, The Jakarta Post, Mataram |Wed, 06/25/2008
West Nusa Tenggara is a major tourist destination in the country, home to a giant gold mining company and a supplier of labor overseas, yet malnutrition continues to haunt the province.
Despite its natural resources, many people in the province, which borders the less developed East Nusa Tenggara, struggle to pay their medical expenses.
LOVING HANDS: Santi holds her 2-month-old son Muhammad Yusron at a hospital in Mataram, West Nusa Tenggara, on Monday. The baby, who weighs just 2.5 kilograms, is being treated for malnutrition. (JP/Panca Nugraha)
This fact hit home in the case of 2-month-old Muhammad Yusron, who is being treated for malnutrition at Mataram General Hospital.
Yusron is the first child of Sahirin, 28, and Santi, 22, from Pemepek village in Pringgarata district, Central Lombok.
Santi told The Jakarta Post on Monday she and her husband could not pay their son's hospital expenses.
She said Yusron weighed a normal 4 kilograms at birth, but now weighed just 2.5 kilos.
"He is not suffering from any illnesses, such as fever or a cough, but he refuses to drink milk. We brought him here because his condition is getting worse," she said.
Yusron has been treated at the hospital since June 21, after being referred by the Pemepek community health center.
Santi said that since her son was referred to the hospital, she has been asked for money to cover a variety of costs, including Rp 80,000 (US$8) for the ambulance fee.
"Since being admitted to the hospital, I have had to pay Rp 51,000 for intravenous feeding and Rp 25,000 each day for medicine. They diagnosed my son as suffering from malnutrition," she said.
Santi also has to pay for the formula milk her son is given, at Rp 2,500 per package.
This has placed a huge burden on the family. Sahirin is a contract teacher at an Islamic junior high school in Pemepek, earning a monthly salary of Rp 300,000.
Apart from Yusron, Mataram General Hospital has treated and released dozens of malnourished toddlers over the last three months.
Yusron is no longer attached to an intravenous drip because his parents cannot afford the cost.
"We appeal for government assistance .... We apparently did not report to the village administration before bringing Yusron here," Santi said.
Head of health services and malnutrition at the West Nusa Tenggara Health Office, Sabar Setiawan, told the Post by phone on Monday that the government covered the medical expenses of malnutrition patients, on the condition that they held insurance cards issued to poor families.
"As long as they are program members, they are exempt from medical fees," Sabar said.
The deputy director of Mataram General Hospital, Rumindah, confirmed to the Post the medical costs of low-income families would be covered by the government if they held the insurance cards.
"Not only malnutrition patients, but those suffering from any kind of illness will get free treatment on condition they show their cards. We regard them as general patients when they register without cards," she said.
She said funding for the free healthcare program came from the state and provincial budgets.
The central government, she added, would disburse Rp 3.2 billion soon and set aside another Rp 4.4 billion for the program.
However, she said, that was still not enough to cover everyone, with total hospital costs reaching Rp 1.2 billion monthly, or Rp 14.4 billion annually, in addition to Rp 300 million monthly for medicine, or around Rp 3.6 billion a year.
"To cover the costs, we have to use hospital revenue derived from general patients," she said.
Coordinator of state budget monitoring at the group People's Solidarity for Transparency, Hendriadi, slammed the provincial budget for allocating more money for state spending than public spending.
"Around 67 percent of the Rp 1.1 trillion provincial budget is used for state spending," he said.
The province is famed for its tourist resorts on Lombok Island, is home to U.S.-based gold miner PT Newmont Nusa Tenggara and supplies labor to the Middle East and Malaysia.
West Nusa Tenggara is a major tourist destination in the country, home to a giant gold mining company and a supplier of labor overseas, yet malnutrition continues to haunt the province.
Despite its natural resources, many people in the province, which borders the less developed East Nusa Tenggara, struggle to pay their medical expenses.
LOVING HANDS: Santi holds her 2-month-old son Muhammad Yusron at a hospital in Mataram, West Nusa Tenggara, on Monday. The baby, who weighs just 2.5 kilograms, is being treated for malnutrition. (JP/Panca Nugraha)
This fact hit home in the case of 2-month-old Muhammad Yusron, who is being treated for malnutrition at Mataram General Hospital.
Yusron is the first child of Sahirin, 28, and Santi, 22, from Pemepek village in Pringgarata district, Central Lombok.
Santi told The Jakarta Post on Monday she and her husband could not pay their son's hospital expenses.
She said Yusron weighed a normal 4 kilograms at birth, but now weighed just 2.5 kilos.
"He is not suffering from any illnesses, such as fever or a cough, but he refuses to drink milk. We brought him here because his condition is getting worse," she said.
Yusron has been treated at the hospital since June 21, after being referred by the Pemepek community health center.
Santi said that since her son was referred to the hospital, she has been asked for money to cover a variety of costs, including Rp 80,000 (US$8) for the ambulance fee.
"Since being admitted to the hospital, I have had to pay Rp 51,000 for intravenous feeding and Rp 25,000 each day for medicine. They diagnosed my son as suffering from malnutrition," she said.
Santi also has to pay for the formula milk her son is given, at Rp 2,500 per package.
This has placed a huge burden on the family. Sahirin is a contract teacher at an Islamic junior high school in Pemepek, earning a monthly salary of Rp 300,000.
Apart from Yusron, Mataram General Hospital has treated and released dozens of malnourished toddlers over the last three months.
Yusron is no longer attached to an intravenous drip because his parents cannot afford the cost.
"We appeal for government assistance .... We apparently did not report to the village administration before bringing Yusron here," Santi said.
Head of health services and malnutrition at the West Nusa Tenggara Health Office, Sabar Setiawan, told the Post by phone on Monday that the government covered the medical expenses of malnutrition patients, on the condition that they held insurance cards issued to poor families.
"As long as they are program members, they are exempt from medical fees," Sabar said.
The deputy director of Mataram General Hospital, Rumindah, confirmed to the Post the medical costs of low-income families would be covered by the government if they held the insurance cards.
"Not only malnutrition patients, but those suffering from any kind of illness will get free treatment on condition they show their cards. We regard them as general patients when they register without cards," she said.
She said funding for the free healthcare program came from the state and provincial budgets.
The central government, she added, would disburse Rp 3.2 billion soon and set aside another Rp 4.4 billion for the program.
However, she said, that was still not enough to cover everyone, with total hospital costs reaching Rp 1.2 billion monthly, or Rp 14.4 billion annually, in addition to Rp 300 million monthly for medicine, or around Rp 3.6 billion a year.
"To cover the costs, we have to use hospital revenue derived from general patients," she said.
Coordinator of state budget monitoring at the group People's Solidarity for Transparency, Hendriadi, slammed the provincial budget for allocating more money for state spending than public spending.
"Around 67 percent of the Rp 1.1 trillion provincial budget is used for state spending," he said.
The province is famed for its tourist resorts on Lombok Island, is home to U.S.-based gold miner PT Newmont Nusa Tenggara and supplies labor to the Middle East and Malaysia.
Langganan:
Postingan (Atom)