01 April 2009

Indonesia Harus Punya Ideologi Pertanian

Indonesia Harus Punya Ideologi Pertanian


Oleh
Effatha Tamburian

JAKARTA – Upaya membangkitkan kembali perekonomian bangsa yang kian terpuruk ini harus dimulai dari pembangunan sektor pertanian. Kenapa? Alasannya cukup sederhana, karena sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani tanaman pangan, menggantungkan kehidupan mereka dari bidang pertanian.

Negara ini tidak dapat berharap menjadi negara maju selama petaninya masih terus-menerus dijerat kemiskinan. Sangat ironis, di negara yang mengklaim dirinya sebagai negara agraris dan kaya akan sumber daya pertanian, di situ profesi petani justru identik dengan kemiskinan.
Hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah selama ini tidak pernah memiliki political will terkait pembangunan pertanian di Indonesia. Akibatnya, kekayaan sumber daya alam pertanian di dalam negeri tergerus ke luar dan dinikmati negara lain, sementara petani hanya menjadi objek politis para penguasa dan konglomerat.
Petani di Indonesia tidak pernah memiliki posisi tawar atau daya saing yang kuat terhadap impor produk pertanian dari luar yang dimonopoli oleh para konglomerat di republik ini. Namun sebaliknya, mereka menjadi budak di kampung halamannya sendiri. Revitalisasi pertanian yang seharusnya dapat dibuktikan dengan terlaksananya reforma agraria (land reform) dengan mengembalikan sekitar 8,7 juta hektare areal pertanian yang telah berubah fungsi menjadi areal nonpertanian, ternyata gagal direalisasikan pemerintah yang tengah berkuasa saat ini.
Penyumbang Utama Krisis Pangan
Kegagalan itu dipastikan menimbulkan krisis sumber daya lahan pertanian, yang jika tidak diatasi akan menjadi penyumbang utama krisis pangan di masa depan.
Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, jumlah petani yang tidak memiliki lahan di Pulau Jawa dipastikan akan meningkat lebih dari 50 persen, yakni lebih dari enam juta rumah tangga petani (RMT), atau lebih dari 24 juta jiwa petani.
Di luar Jawa, sekitar 18 persen atau 8 juta jiwa petani tidak memiliki lahan, sementara angka konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Jawa saat ini mencapai 50.000-100.000 hektare per tahun.
Saat ini sebanyak 49 persen petani di Jawa tidak memiliki lahan sama sekali, sementara rata-rata kepemilikan lahan petani tanaman pangan saat ini hanya 0,36 hektare.

Ditambah lagi, pembangunan industri pertanian di pedesaan tidak berjalan baik. Hal itu penyebab utama tidak tercapainya kemandirian sektor pertanian di Indonesia. Para pengambil kebijakan bidang pertanian di negeri ini telah mengkhianati konsep ketahanan nasional, di mana setiap wilayah dan daerah seharusnya mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri.
Selama ini, pemerintah telah mengabaikan pengembangan industri pengolahan pertanian di setiap daerah. Namun, sebaliknya, pemerintahan yang silih berganti justru menerapkan sistem cultur stelsel warisan kolonial Belanda yang hanya memeras sumber daya alam daerah dan keringat petani untuk menghidupi pembangunan di perkotaan. Itulah ciri-ciri bangsa yang masih terjajah.
Jika ingin lepas dari itu, semua pengambil kebijakan di negara ini harus mengubah seluruh pandangan mereka, yaitu bagaimana membangun kekuatan sendiri yang bermodalkan rakyat. Pembangunan pertanian di Indonesia harus memiliki ideologi yang jelas, yang dapat melakukan perubahan secara signifikan terhadap sistem pembangunan pertanian di Indonesia yang telah jauh dari konsep menyejahterakan petaninya.
Negara ini perlu reorientasi strategi pembangunan pertanian yang dapat menciptakan kedaulatan pangan dan kedaulatan petani atas sumber daya pertanian, sarana produksi pertanian, dan penguasaan pasar sehingga memiliki kekuatan daya saing dalam menghadapi kancah politik pertanian negara-negara kapitalis dunia yang tidak akan berhenti menghancurkan pembangunan pertanian dan perekonomian negara-negara miskin dan berkembang, seperti Indonesia.

Politik Pertanian
Praktisi pertanian Siswono Yudo Husodo berulang kali menegaskan, Indonesia hingga saat ini belum memiliki politik pertanian yang mantap yang merupakan kebijakan mendasar di bidang pangan yang bersifat jangka panjang. Sementara itu, dirinya menilai revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh Presiden Yudhoyono sejak 2005, ternyata tidak bisa dirumuskan dengan baik sehingga tidak dapat berjalan sesuai harapan.
"Saya melihat sasaran-sasaran yang ditetapkan Deptan (Departemen Pertanian-red) tidak tercapai semuanya," ujar Siswono. Ia mencontohkan program Deptan untuk swasembada gula pada 2010, ironisnya, hingga 2008 Indonesia masih mengimpor gula 30 persen dari kebutuhan nasional.
"Saya tidak melihat ada perubahan baru yang dibangun, tetapi soal itu justru diatasi dengan mengimpor gula rafinasi. Menurut saya, itu bukan solusi," tegasnya.
Menurut Siswono, pemerintah Indonesia sebenarnya dapat mencontoh India dalam memproteksi petaninya dan mementingkan produksi dalam negeri, seperti ditetapkannya bea masuk gula yang cukup tinggi, yaitu 35 persen sejak 1970-an. Dengan demikian, pabrik gula dan petani tebu diuntungkan dan produksi gula dalam negerinya terus meningkat hingga saat ini India menjadi eksportir gula.
Hal itu menunjukkan pemerintah Indonesia tidak pernah mengambil kebijakan yang memihak petani dan mementingkan produksi dalam negeri. Terbukti, sejak 1999, di mana Menteri Perdagangan yang merangkap Kepala Bulog justru memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap masuknya kedelai impor dengan tidak mengenakan bea masuk.
Dampaknya, harga kedelai impor memang jauh lebih murah dibandingkan kedelai lokal. Hal itu telah mengakibatkan luas tanam kedelai turun dari 1,4 juta hektare menjadi 600.000 hektare, dan berdampak hingga saat ini Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 70 persen dari kebutuhan nasional dengan harga sangat mahal.
Satu-satunya cara melindungi petani adalah menciptakan harga yang menguntungkan bagi petani. Jika petani terus merugi, mereka tidak akan mau menanam komoditas pangan yang seharusnya dapat dipenuhi seluruhnya dari dalam negeri, seperti beras, gula, jagung, kedelai, serta komoditas perkebunan yang dapat meningkatkan devisa, seperti karet, kelapa sawit, teh, dan cokelat.
Terkait dengan itu, pemerintah sekarang ini dan pada saat mendatang harus kembali kepada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang sudah memiliki visi dan ideologi tentang pembangunan pertanian di Indonesia, sebab sistem pembangunan pertanian selama ini telah mengingkari amanat konstitusi dan melanggar amanat revolusi kemerdekaan bangsa ini. Bahkan parahnya, ideologi pembangunan ekonomi pemerintah saat ini sangat neoliberal, yang lebih buruk dari pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru yang masih fokus pada pembangunan, di mana peran negara masih kuat, dan subsidi kepada petani masih ada. n


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0904/01/sh03.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar