08 November 2009

Siapkan Tempat bagi PKL


Jangan Asal Gusur kalau Perda Tidak Dilaksanakan

Sabtu, 7 November 2009

Jakarta, Kompas - Pedagang kaki lima di Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memenuhi tuntutan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta, yaitu menyediakan tempat yang layak bagi PKL. Apabila belum mampu, penggusuran tidak bisa ditoleransi.

Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia DKI Jakarta Hoiza Siregar, Jumat (6/11), menegaskan, sesuai Peraturan Daerah (Perda) No 2/2002, setiap pusat perbelanjaan wajib menyediakan 10-20 persen dari total luas lahannya untuk PKL.

Jika menelaah perda tersebut, khususnya pada penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Huruf a, b, dan c, ketentuan terkait penempatan PKL memang diatur ketat.

Pada penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Huruf a disebutkan, kegiatan mini swalayan/toko/waralaba dengan luasan kumulatif 200-500 meter persegi wajib menyediakan tempat usaha bagi usaha kecil/informal/PKL sebesar 10 persen. Pada Huruf b, untuk luasan usaha di atas 500 meter persegi, penyediaan tempat untuk PKL sebesar 20 persen. Ketentuan ini tidak bisa diganti dengan bentuk lain.

Penjelasan Pasal 13 Huruf c menyebutkan, penetapan ruang tempat usaha bagi usaha kecil/informal/PKL harus memenuhi kelayakan usaha dan sesuai dengan jenis barang dagangannya.

"Sesuai penjelasan itu, sudah jelas kami berhak mendapatkan tempat. Jika perda belum bisa dilaksanakan, jangan asal gusur dulu," kata Hoiza. Apalagi, tutur Hoiza, PKL yang menggelar lapak pasti dipungut biaya. Setiap hari, tergantung lokasinya, setiap PKL harus membayar retribusi sebesar Rp 1.000- Rp 10.000.

"Itu belum termasuk biaya listrik dan air bersih yang kita perlukan. Biasanya diminta orang yang mengaku petugas dari kelurahan-lah, PD Pasar Jaya-lah, macam-macam, pokoknya. Makanya, kalau ditertibkan, nanti-nanti juga ada lagi. Karena mereka butuh kita," kata Nasbah, pedagang VCD di Blok M, Jakarta Selatan.

Salah satu contoh lain—yang menegaskan penggusuran tidak menyelesaikan masalah terkait menjamurnya PKL ataupun kesemrawutan kawasan—terlihat di kawasan Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Kawasan ini tetap macet parah meski PKL yang berjualan di badan jalan telah digusur. Dalam pantauan Jumat kemarin, kendaraan tetap harus antre selama 15-20 menit untuk melintasi ruas jalan itu karena angkutan umum ngetem dan parkir secara liar.

Urusan pemerintah kota

Terkait pelaksanaan Perda No 2/2002, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan Perdagangan DKI Jakarta Ade Suharsono menegaskan, penataan lokasi PKL merupakan tanggung jawab pemerintah kota (pemkot). Pemkot harus bersikap tegas untuk menentukan lokasi yang boleh digunakan untuk PKL dan lokasi yang terlarang bagi PKL.

Selama ini, pemerintah provinsi menampung PKL dalam penampungan resmi, tetapi bersifat sementara. Setelah beberapa tahun berdagang, para PKL seharusnya menyewa atau membeli kios atau toko resmi agar status mereka meningkat.

"Banyak PKL cenderung berlama-lama berjualan di lokasi penampungan dan tidak mau pindah. Padahal, lokasi penampungan itu sifatnya sementara dan suatu saat akan dikembalikan fungsinya," kata Ade. Manajer Humas PD Pasar Jaya Nur Hafidz mengatakan, pihaknya juga membutuhkan pemkot dalam menata PKL, terutama yang berada di luar pasar. PKL di luar pasar sering merebut konsumen pedagang resmi di dalam pasar. Selain itu, suasana sekitar pasar menjadi macet dan kumuh sehingga membuat warga enggan mengunjungi pasar tradisional.

"Kami siap menata PKL di dalam pasar dan silakan pemkot menata PKL di luar pasar. Perlu langkah bersama untuk membuat pasar tradisional lebih nyaman dikunjungi," kata Hafidz. Wakil Wali Kota Jakarta Timur Asep Syarifudin menjelaskan, pusat perbelanjaan di wilayahnya telah menampung rata-rata 40 PKL. Pusat perbelanjaan itu adalah Buaran, Pusat Grosir Cililitan, dan Pusat Grosir Jatinegara. "Langkah lain untuk menampung mereka adalah lewat lokasi binaan, seperti di Munjul dan persimpangan Cililitan," katanya. (WIN/ECA/ONG/NEL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar